MANADO, PRONews5.comSetelah hampir dua dekade berjuang di jalur hukum, John Hamenda akhirnya memenangkan gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Manado, Rabu (5/3/2025).

Putusan hakim memerintahkan penyidik Polda Sulawesi Utara (Sulut) untuk membuka kembali penyelidikan kasus dugaan penggelapan tanah senilai Rp500 miliar, yang sebelumnya dihentikan melalui Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) Nomor: SPPP/152.a/VIII/2016/Dit Reskrimum tertanggal 30 Agustus 2016.

Hakim Praperadilan PN Manado, Ronald Massang, SH, MH, dalam amar putusannya menegaskan bahwa penerbitan SP3 oleh Polda Sulut tidak sah, sehingga penyidikan harus dilanjutkan.

Putusan ini menjadi angin segar bagi John Hamenda yang selama bertahun-tahun berjuang membuktikan adanya dugaan kejahatan yang merugikannya hingga ratusan miliar rupiah.

Menanggapi putusan ini, Dr. Santrawan Totone Paparang, SH, MH, M.Kn, Hanafi Saleh, SH, dan Marcsano Wowor, SH, selaku kuasa hukum Hamenda, menyatakan kelegaan mereka.

Mereka menilai putusan hakim sebagai bentuk keadilan yang nyata dalam mengungkap dugaan kejahatan kerah putih (white-collar crime) di balik kasus ini.

Dr. Santrawan Paparang menegaskan bahwa putusan ini membuktikan adanya kejahatan dalam pembuatan akta, yang melibatkan investor, notaris, hingga pihak yang menerima sertifikat secara ilegal.

“Putusan ini membuka tabir kejahatan yang telah lama tertutup.

Kami meminta pihak berwenang segera menangkap pihak-pihak yang terlibat, termasuk Ridwan Sugianto, yang diduga menjadi penerima manfaat dari pengalihan tanah ini,” tegasnya.

Selain itu, kuasa hukum Hamenda akan menyurati Kapolri, Kabareskrim, Kapolda Sulut, hingga Direskrimum Polda Sulut, agar segera menindaklanjuti putusan praperadilan ini.

Mereka juga berencana menghadirkan pakar hukum pidana, perdata, serta ahli notaris dari berbagai universitas untuk menguatkan kasus ini di tahap penyelidikan lanjutan.

Kasus ini berawal dari transaksi jual beli kios di Mall Manado Square (MMS), proyek milik John Hamenda pada 2003.

Sejumlah investor, termasuk Ir. Arianto Mulja, Drs. Subagio Kasmin, Ratna Purwati Nicolas Badarudin, Drs. Siman Slamet, dan Denny Wibisono Saputro, SH, menyerahkan panjar Rp41 miliar kepada Hamenda untuk membeli kios.

Namun, proyek ini terganjal kasus Letter of Credit (LC) di PT Bank Negara Indonesia (BNI), yang sempat menyeret nama Hamenda.

Meski dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan hingga Mahkamah Agung tidak ditemukan kerugian negara, masalah hukum yang dialaminya membuat proyek MMS gagal terwujud.

Sebagai solusi, Hamenda menandatangani Akta Kesepakatan Nomor 11 tanggal 14 November 2003, yang menyatakan bahwa jika ia gagal mengembalikan uang investor, tanah miliknya seluas 52.651 m² di Malalayang I, Manado, akan dijual.

Namun, dugaan kecurangan muncul ketika belakangan ditemukan Akta Pengikatan Jual Beli (AJB) Nomor 12, yang disebut-sebut dibuat tanpa sepengetahuan Hamenda, sehingga tanah tersebut berpindah kepemilikan secara ilegal.

Pada 2016, John Hamenda melaporkan kasus ini ke Polresta Manado, yang kemudian diteruskan ke Polda Sulut. Namun, penyidik memutuskan untuk menghentikan kasus ini melalui SP3 dengan alasan tidak cukup bukti.

Keputusan itu mendapat penolakan dari Hamenda, yang kemudian mengajukan permohonan perlindungan hukum kepada Kapolri pada 24 Februari 2021.

Bareskrim Polri pun memerintahkan gelar perkara, yang akhirnya merekomendasikan agar Hamenda mengajukan gugatan praperadilan.

Hasilnya, dalam sidang yang berlangsung pekan lalu, hakim memutuskan bahwa penghentian penyidikan tidak sah, sehingga penyidik wajib membuka kembali kasus ini dan menetapkan kembali para terlapor sebagai tersangka.

Selain menyoroti dugaan penipuan dan penggelapan, Hamenda juga menuding ada penyalahgunaan wewenang oleh notaris dalam pembuatan akta yang menyebabkan alih kepemilikan tanahnya.

Hamenda meminta agar akta-akta yang dibuat tanpa persetujuannya dinyatakan batal demi hukum dan seluruh pihak yang terlibat dimintai pertanggungjawaban hukum.

Dengan dikabulkannya gugatan praperadilan ini, penyidik Polda Sulut kini wajib membuka kembali penyelidikan dan menentukan apakah tersangka lama akan ditetapkan kembali atau ada tersangka baru.

Kasus ini menjadi contoh nyata bagaimana sengketa hukum di sektor properti dapat melibatkan berbagai pihak, mulai dari investor, notaris, hingga oknum yang diduga menyalahgunakan kekuasaan.

Masyarakat kini menanti langkah tegas aparat penegak hukum. Akankah kasus ini membawa keadilan bagi John Hamenda? Ataukah akan ada manuver hukum baru yang menghambat jalannya penyelidikan?

….Bersambung

[**/ARP]