Adapun aset yang dituntut untuk dikembalikan meliputi dokumen penting organisasi, perlengkapan kantor, komputer, barang inventaris, hingga barang tidak bergerak.

PWI Sulut juga mencatat potensi kerugian materiel dan immateriel yang dapat ditindaklanjuti dalam bentuk tuntutan ganti rugi sesuai Pasal 1365 KUHPerdata dan UU Nomor 1 Tahun 1981 tentang KUHAP.

Pengurus menegaskan bahwa jika somasi diabaikan, langkah tegas akan diambil berupa laporan resmi ke aparat kepolisian dan pengajuan gugatan ke pengadilan negeri.

Dalam hukum perdata, tindakan penguasaan tanpa hak atas barang milik orang lain dapat dikualifikasi sebagai onrechtmatige daad (perbuatan melawan hukum) yang membawa konsekuensi tuntutan ganti rugi.

“Ini bukan sekadar pelanggaran internal organisasi. Ini soal penghinaan terhadap struktur hukum dan legalitas negara,” tambah Loupatty.

Sebagai bentuk keseriusan, surat somasi juga ditembuskan ke Ketua Umum PWI Pusat, Penasihat Hukum PWI Sulut, Gubernur Sulut, dan Kapolda Sulut, untuk mendorong aparat segera melakukan tindakan hukum atas dugaan pelanggaran yang terjadi.

Hingga berita ini diturunkan, Voucke Lontaan belum memberikan tanggapan resmi.

Namun berdasarkan informasi dari sumber internal, aktivitas di dalam kantor masih terus berlangsung, seolah mengabaikan legitimasi pengurus baru yang sah secara hukum dan organisasi.

PWI Sulut berharap langkah hukum ini menjadi peringatan keras bagi siapa pun yang mencoba mengangkangi aturan, memalsukan otoritas, dan melecehkan prinsip legalitas.

Organisasi profesi wartawan, menurut mereka, tidak boleh dikuasai oleh oknum yang memanipulasi kekuasaan tanpa mandat sah.

“Kami tidak akan kompromi dengan pelanggaran. Marwah PWI harus dikembalikan kepada jalur hukum, bukan kepada kelompok yang mengangkangi keputusan organisasi pusat,” pungkas Loupatty.

[**/ARP]