Oleh Adrianus R. Pusungunaung
Wakil Ketua PWI Sulawesi Utara Bidang Advokasi dan Pembelaan Wartawan

Kasus yang baru-baru ini mencuat ke publik terkait pengakuan seseorang yang mengaku menjebak seorang wartawan dengan memberikan uang, lalu mempersoalkannya secara hukum, adalah peristiwa serius yang mencederai prinsip dasar kemerdekaan pers.

Sebagai Wakil Ketua PWI Sulawesi Utara yang membidangi advokasi dan pembelaan wartawan, saya memandang tindakan tersebut tidak hanya melanggar etika, tetapi juga berpotensi menjadi bentuk kriminalisasi terhadap kerja jurnalistik.

Dalam konteks kerja pers, wartawan bukanlah pihak yang tidak bisa dikritik. Namun jika ada pihak yang merasa dirugikan oleh suatu pemberitaan, maka jalur yang sah untuk menyelesaikannya sudah diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Di dalamnya, terdapat mekanisme hak jawab, hak koreksi, serta jalur penyelesaian melalui Dewan Pers.

Menjebak wartawan dengan iming-iming uang, kemudian menjadikan tindakan itu sebagai dasar tuduhan hukum, adalah praktik manipulatif dan sangat berbahaya. Ini bukan hanya menyangkut satu wartawan atau satu media, tapi menyangkut keselamatan profesi dan kemerdekaan secara luas.

Prinsipnya jelas: wartawan bukanlah pihak yang kebal hukum. Namun kerja jurnalistik yang dilakukan secara profesional dan sesuai kode etik, harus mendapatkan perlindungan. Jika pemberitaan dianggap tidak akurat atau merugikan, maka hak jawab adalah saluran utama, bukan rekayasa jebakan.

Sanksi terhadap pemberitaan yang melanggar kode etik atau tidak memenuhi kaidah jurnalistik bukanlah wewenang aparat, melainkan lembaga etik profesi seperti Dewan Pers. Ini untuk menjaga agar tidak terjadi tumpang tindih antara penyelesaian sengketa jurnalistik dan proses pidana.

Atas kasus ini, kami dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sulawesi Utara menyatakan kesiapan penuh untuk memberikan pendampingan hukum terhadap jurnalis yang menghadapi intimidasi, kriminalisasi, atau jebakan seperti yang terjadi kepada saudara M. Rahmat Nasution.

Kami juga mengimbau kepada seluruh wartawan di Sulawesi Utara agar tetap menjalankan tugas secara profesional, berimbang, dan menjunjung tinggi kode etik jurnalistik. Namun di saat yang sama, jangan pernah takut terhadap tekanan yang mencoba membungkam suara kebenaran.

Kebebasan pers adalah pilar demokrasi. Menjebak wartawan dengan maksud membungkam atau memidanakan, bukan hanya merugikan jurnalis secara pribadi, tetapi juga menjadi preseden buruk bagi masa depan demokrasi dan keterbukaan informasi di daerah ini.

Kami mendesak semua pihak, termasuk aparat penegak hukum, untuk bijak dan proporsional dalam menyikapi laporan yang melibatkan jurnalis. Jangan sampai aparat justru menjadi alat untuk membungkam kebenaran.

Salam hormat,
Adrianus R. Pusungunaung
Wakil Ketua PWI Sulawesi Utara
Bidang Advokasi dan Pembelaan Wartawan