Dari memetik biji merah yang matang, menjemurnya di bawah matahari Gunung Mahawu, hingga menyangrainya perlahan di atas tungku kayu – setiap proses dijalankan secara tradisional.

Tak hanya menjaga rasa, cara ini juga menjaga cerita. Kopi lalu ditumbuk dengan lesung, diseduh dengan air panas, dan disajikan dengan senyuman hangat warga.

Kini, wisatawan mulai berdatangan. Mereka tidak hanya mencari rasa kopi, tapi pengalaman otentik. Di Kinilow, mereka bisa belajar langsung bagaimana kopi ditanam dan diseduh.

Menyeruput kopi di tepi kebun sambil menatap gagahnya Lokon dan Mahawu menjadi pengalaman yang membekas.

Kopi Kinilow bukan sekadar minuman. Ia adalah puisi yang dituangkan dalam cangkir. Di setiap tegukan, ada rasa tanah Minahasa, ada jejak tangan nenek moyang, ada semangat anak muda yang ingin membawa Kinilow ke peta kopi dunia.

“Kinilow Coffee – Dari Tanah, Untuk Dunia” bukanlah slogan biasa, melainkan janji: bahwa selagi aroma kopi masih mengepul dari tungku di Kinilow, selagi masih ada tangan-tangan yang menyangrai dengan cinta, maka warisan ini akan terus hidup dan menginspirasi. (**)

[Penulis adalah Tokoh akademisi dan peneliti asal Kinilow, Tomohon, Sulawesi Utara. Dosen di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unsrat ini dikenal sebagai penemu teknologi kapal ikan bersirip yang dipatenkan di Jepang. Ia aktif dalam riset kelautan strategis dan pelestarian budaya lokal, termasuk warisan kopi Kinilow]