TOMOHON, PRONews5.com – Langkah Dinas PUPR Tomohon membentuk Satgas Petarung Smart semakin menuai tanda tanya besar. Selain dinilai cacat hukum karena mengabaikan kewajiban Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), satgas ini juga dikhawatirkan hanya akan menjadi beban APBD tanpa kepastian tupoksi yang jelas.
Sosialisasi Satgas Petarung Smart digelar di Kantor PUPR Tomohon, Jumat (12/9/2025).
Kepala Dinas PUPR Tomohon, Royke Tangkawarow, menyebut satgas tersebut sebagai perpanjangan tangan PUPR di kelurahan guna memperkuat pengawasan tata ruang.
Lima kelurahan ditunjuk sebagai pilot project, yakni Kakaskasen Tiga, Kumelembuai, Kolongan Satu, Taratara Dua, dan Pinaras.
Namun, publik justru menyoroti absennya Kelurahan Kakaskasen Dua dalam daftar.
Padahal, wilayah itu berada di jalur vital pembangunan dan rawan konflik tata ruang.
“Aneh sekali, Kakaskasen Dua tidak masuk padahal posisinya strategis,” sindir seorang tokoh masyarakat setempat.
Lebih jauh, kritik keras datang dari kalangan akademisi. Mereka menilai pembentukan satgas tanpa RDTR bertentangan dengan hukum.
“Kalau so ba cerita tingkat kecamatan, so musti pake RDTR. Itu kewajiban hukum, bukan opsi,” tegas seorang akademisi arsitektur dan perencanaan wilayah yang minta namanya tidak disebut.
Berdasarkan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 14 ayat (3) menegaskan RDTR wajib disusun sebagai turunan RTRW untuk menjadi dasar operasional pemanfaatan ruang.
Hal ini dipertegas dalam PP No. 21 Tahun 2021, Pasal 5 ayat (1), bahwa RDTR menjadi dasar pemberian izin berusaha dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Tanpa RDTR, pengawasan tata ruang praktis tidak memiliki legitimasi hukum.
Selain itu, Permen ATR/BPN No. 11 Tahun 2021 juga menegaskan RDTR harus diperdakan, bukan hanya ditetapkan melalui peraturan wali kota.
Dengan demikian, satgas yang dibentuk PUPR Tomohon tanpa dasar RDTR jelas cacat regulasi.
Publik juga mengingatkan potensi pemborosan anggaran. Jika satgas diberi fasilitas perjalanan dinas (jaldis) dan operasional, sementara legalitasnya rapuh, maka kehadirannya hanya akan menguras APBD.
“Kalau sukarela, masih aman. Tapi kalau jaldis, itu jelas pemborosan. Apalagi tanpa RDTR, satgas hanya jalan di tempat,” ujar pemerhati tata ruang di Tomohon.
Isu ini makin relevan di tengah maraknya tambang galian C di kaki Gunung Lokon.
Tanpa RDTR dan peraturan zonasi, satgas praktis lumpuh karena tidak punya dasar hukum untuk melarang atau menindak aktivitas ilegal.
Kritik terhadap Satgas Petarung Smart ini pun memunculkan desakan agar Pemkot Tomohon segera menyusun dan menetapkan RDTR melalui perda. Tanpa itu, semua upaya pengawasan tata ruang hanya akan dianggap seremonial dan berpotensi menabrak aturan hukum.
[**/ARP]