Hal ini dipertegas dalam PP No. 21 Tahun 2021, Pasal 5 ayat (1), bahwa RDTR menjadi dasar pemberian izin berusaha dan pengendalian pemanfaatan ruang.

Tanpa RDTR, pengawasan tata ruang praktis tidak memiliki legitimasi hukum.

Selain itu, Permen ATR/BPN No. 11 Tahun 2021 juga menegaskan RDTR harus diperdakan, bukan hanya ditetapkan melalui peraturan wali kota.

Dengan demikian, satgas yang dibentuk PUPR Tomohon tanpa dasar RDTR jelas cacat regulasi.

Publik juga mengingatkan potensi pemborosan anggaran. Jika satgas diberi fasilitas perjalanan dinas (jaldis) dan operasional, sementara legalitasnya rapuh, maka kehadirannya hanya akan menguras APBD.

“Kalau sukarela, masih aman. Tapi kalau jaldis, itu jelas pemborosan. Apalagi tanpa RDTR, satgas hanya jalan di tempat,” ujar pemerhati tata ruang di Tomohon.

Isu ini makin relevan di tengah maraknya tambang galian C di kaki Gunung Lokon.

Tanpa RDTR dan peraturan zonasi, satgas praktis lumpuh karena tidak punya dasar hukum untuk melarang atau menindak aktivitas ilegal.

Kritik terhadap Satgas Petarung Smart ini pun memunculkan desakan agar Pemkot Tomohon segera menyusun dan menetapkan RDTR melalui perda. Tanpa itu, semua upaya pengawasan tata ruang hanya akan dianggap seremonial dan berpotensi menabrak aturan hukum.

[**/ARP]