KOTAMOBAGU|SULUT- Polemik antara seorang orang tua murid dan guru di SMA Negeri 1 Kotamobagu, Sulawesi Utara, yang sempat viral di media sosial, akhirnya menemui titik damai.
Namun, kejadian ini meninggalkan jejak mendalam, terutama bagi dunia pendidikan dan etika komunikasi dalam menyelesaikan konflik di sekolah.
Insiden ini menjadi perhatian publik setelah RG alias Rommy, seorang warga Kota Kotamobagu, melakukan siaran langsung di Facebook saat dirinya membentak dan mempermalukan seorang guru, Mem Simpuru, terkait perlakuan terhadap anaknya.
Alih-alih mendapatkan simpati, tindakan Rommy justru memicu gelombang kecaman dari warganet.
Grup Facebook Lambe Kawanua Official dan Sulut Viral dipenuhi komentar pedas yang mengecam aksi orang tua tersebut, sementara sang guru mendapatkan dukungan luas dari para siswa, alumni, hingga masyarakat umum.
Rommy yang awalnya ingin membela anaknya, justru menjadi sasaran kritik publik. Banyak yang menilai bahwa tindakannya mempermalukan guru di media sosial adalah bentuk arogansi yang tidak bisa dibenarkan.
Dalam video yang viral, Mem Simpuru terlihat tetap tenang dan berulang kali meminta maaf dengan penuh kesabaran.
Namun, Rommy terus melontarkan kata-kata kasar tanpa memberi ruang dialog yang lebih bermartabat.
“Bapak ini sudah kelewatan! Mem Simpuru adalah guru yang baik dan sabar. Ini bukan cara yang benar untuk menyelesaikan masalah!” tulis seorang netizen di grup Sulut Viral.
Kemarahan publik semakin membesar hingga akhirnya Rommy dan keluarganya menutup akun Facebook mereka. Namun, jejak digital tak bisa dihapus begitu saja.
Insiden ini menjadi pengingat bagi orang tua agar tidak langsung bereaksi berlebihan terhadap laporan anak tanpa konfirmasi lebih dulu.
Banyak warganet yang mengingatkan bahwa anak-anak sering kali menceritakan sesuatu dengan dramatisasi yang berlebihan.
“Orang tua kalau ke sekolah jangan buru-buru bikin status di Facebook. Ingat, laporan anak itu kadang lebih dramatis dari sinetron. Konfirmasi dulu, baru ambil tindakan, biar gak malu belakangan,” ujar seorang netizen di grup Lambe Kawanua.
Anggota DPRD Sulut: “Saya Juga Pernah Kena Hukuman Guru”
Menanggapi polemik ini, Anggota DPRD Sulawesi Utara, Melisa Gerungan, turut berbagi pengalaman pribadinya.
Dalam sebuah unggahan di media sosial, ia mengenang saat dirinya pernah dihukum seorang guru karena menggunakan ponsel di kelas.
Kala itu, ia sempat marah dan berniat pindah sekolah. Namun, ayahnya, Hangky Arther Gerungan (HAG), justru memaksanya kembali ke sekolah dan meminta maaf kepada gurunya.
“Saya ingat Papa HAG marah dan bilang harus tetap ke sekolah. Saya ngotot tidak mau masuk kelas, tapi tetap dipaksa pakai seragam. Akhirnya, setelah klarifikasi dengan guru, yang terjadi ternyata tidak seperti di video,” tulis Melisa.
Baginya, pengalaman ini adalah pelajaran berharga tentang menghormati guru, menerima konsekuensi atas kesalahan, serta bagaimana pendidikan—baik dari orang tua maupun sekolah—berperan dalam membentuk karakter seseorang.
“Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Sebagaimana kita menghormati orang tua, kita juga harus menghormati guru yang telah membentuk kita menjadi pribadi yang sukses,” tegas Melisa.
Media Sosial: Pedang Bermata Dua
Di era digital saat ini, media sosial dapat menjadi alat komunikasi yang kuat, tetapi juga bisa berubah menjadi senjata makan tuan jika digunakan tanpa pemikiran matang.
Rommy menjadi contoh bagaimana emosi sesaat dan keputusan gegabah dapat menghancurkan reputasi seseorang secara permanen di dunia maya.
“Di era digital, segala sesuatu yang diunggah ke media sosial dapat menyebar luas dalam hitungan detik. Hal ini menjadi pengingat bagi siapa pun bahwa perilaku yang tidak bijak di dunia maya dapat berdampak besar di dunia nyata,” ujar Melisa.
Kini, setelah kesepakatan damai tercapai, publik berharap agar insiden serupa tidak kembali terulang.
Dunia pendidikan membutuhkan suasana yang kondusif, di mana guru dihormati, orang tua bersikap bijak, dan komunikasi dapat terjalin tanpa konflik yang berujung pada pembantaian digital.
Kasus ini menjadi momentum untuk mengembalikan penghormatan terhadap profesi guru, yang selama ini menjadi pilar utama dalam membentuk karakter generasi muda.
Karena pada akhirnya, tanpa guru yang dihormati dan dihargai, tak ada generasi yang siap menghadapi masa depan.
[ARP/PN5]