Program bantuan kuota internet yang menjadi bagian dari skema besar ini pun tak luput dari masalah. Pemerintah mengklaim telah mendistribusikan 20 GB per bulan untuk siswa PAUD, 35 GB untuk jenjang SD hingga SMA, dan 50 GB untuk mahasiswa dan dosen. Namun kenyataannya, banyak siswa di daerah mengaku tidak pernah menerima kuota tersebut.

Sebagian harus membeli paket data sendiri agar bisa ikut belajar daring. Alih-alih meringankan, program ini justru menjadi beban tambahan bagi keluarga miskin.

KPK kini mendalami apakah terjadi penyimpangan dalam proses distribusi dan pelaporan kuota, termasuk kemungkinan markup atau laporan fiktif oleh penyedia dan mitra kerja Kemendikbudristek.

Nama Nadiem Makarim, mantan Menteri Pendidikan dan ikon transformasi digital pendidikan, kini ikut terseret dalam sorotan publik.

Meski telah menyatakan bahwa semua proses pengadaan dilakukan secara transparan, pengamat kebijakan publik menilai pernyataan itu tak cukup.

Ada tuntutan kuat agar semua pejabat pembuat kebijakan saat itu diperiksa. Skandal ini tidak bisa hanya berhenti pada pejabat teknis atau staf pelaksana.

Jika benar ada permainan besar dalam proyek digitalisasi pendidikan, maka tanggung jawab moral dan hukum harus ditelusuri hingga ke pucuk pengambil keputusan.

Penyelidikan ini bukan sekadar soal dugaan korupsi, melainkan ujian atas integritas reformasi pendidikan yang digadang-gadang membawa kemajuan.

Di balik slogan dan tampilan teknologi canggih, tampaknya ada celah gelap yang sengaja dibuka oleh mereka yang mengerti celah sistem.

Skema digital yang semestinya menolong siswa di tengah krisis, kini disorot sebagai lahan bancakan yang menjauhkan pendidikan dari nilai kejujuran dan keberpihakan pada rakyat kecil.

KPK menegaskan bahwa komunikasi dengan Kejagung tetap intensif untuk menghindari tumpang tindih penanganan perkara. Namun publik menanti lebih dari sekadar koordinasi. Yang diinginkan adalah keadilan—dan jawaban, mengapa proyek sebesar itu bisa dijalankan tanpa pengawasan ketat, dan siapa saja yang bermain di dalamnya.

Jika tak dituntaskan, awan gelap ini akan terus menggantung di atas sistem pendidikan nasional. Dan yang akan paling dirugikan bukan para pejabat di balik meja, tapi anak-anak Indonesia yang seharusnya dilindungi masa depannya oleh negara.

[**/ARP]