SITARO, PRONews5.com Seekor ikan purba Coelacanth berhasil tertangkap secara tidak sengaja oleh seorang guru dan tiga rekannya di perairan Pulau Passige, Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro (SITARO), Sulawesi Utara, Jumat (4/7/2025) pagi.

Penemuan langka ini menjadi yang pertama di Kabupaten Sitaro dan ikan tersebut segera dilepaskan kembali ke habitatnya berkat kesadaran nelayan dan koordinasi cepat dari pegiat konservasi.


Ikan Coelacanth yang dikenal sebagai “ikan raja laut” ini, diperkirakan sudah ada di bumi sekitar 360-400 juta tahun lalu.

Ikan ini tertangkap oleh jaring insang dasar milik nelayan Jendri Pontoh (33), seorang guru di SMA Negeri I Tagulandang, bersama ayahnya Waldi Pontoh (54), serta Iwan dan Papa Ari Labego pada pukul 06:30 WITA di kedalaman sekitar 20-25 meter.

Penemuan yang Mengejutkan dan Tindakan Cepat Konservasi
Awalnya, Jendri dan rekannya terkejut melihat ikan besar yang masuk ke jaring mereka, dalam keadaan hidup.

Meskipun merasa asing, Jendri teringat pernah melihat patung ikan serupa yang disebut “ikan raja laut” di Manado.

Ia pun segera mencari informasi melalui Google dan memverifikasi bahwa ikan tersebut adalah Coelacanth yang dilindungi.

Menyadari status dilindungi ikan tersebut, Jendri segera menginstruksikan untuk melepaskannya dari jaring, terlebih setelah melihat sedikit cedera pada sirip dada kanan ikan, kemungkinan akibat gesekan jaring.

Ikan tersebut kemudian diangkut ke perahu, ditempatkan dalam bak yang berisi air dan ditutup pukat untuk melindunginya dari sinar matahari.

Ikan sepanjang 90 cm hingga 1 meter dengan berat sekitar 30 kg itu masih tampak lincah mengepakkan sirip ekornya.

Setibanya di darat, penemuan ini membuat heboh masyarakat dan pemerintah kelurahan setempat. Beruntung, ada Ibu Lusye Blendinger dan suaminya yang kebetulan berada di Pulau Tagulandang dan memahami bahwa ikan tersebut dilindungi.

Mereka segera berkoordinasi dengan pemerintah kelurahan, nelayan, dan masyarakat setempat untuk mengembalikan ikan itu ke habitatnya.

“Tidak berselang lama setelah ikan itu tertangkap, mereka melepaskan ikan ini di pinggiran pantai dan melihat bahwa kondisi ikan ini sangat sehat, masih bergerak dengan lincah meskipun ada sedikit lecet pada sirip kanan,” terang Prof. Alex Masengi PhD. dan Ixchel F. Mandagi PhD., dosen FPIK Unsrat serta pengurus International Coelacanth Research Center dan Marine Museum, kepada PRONews5.com, Jumat (4/7/2025).

Pada sekitar pukul 07:30 WITA, Pak Meidi Kasehung dan anaknya Aldi Kasehung, ditemani Ibu Lusye Blendinger, menggunakan perahu fiber untuk mengembalikan Coelacanth.

Mereka mengikat bagian kepala ikan dengan tali dan menariknya perlahan menuju perairan Batu Empat yang lebih dalam, sekitar 25-30 meter.

Setelah mencapai kedalaman yang sesuai, ikan itu dilepaskan perlahan. Mereka mengamati ikan Coelacanth itu dengan cepat bergerak menuju dasar perairan dan menyisir dasar sebelum menuju ke tebing yang lebih curam.

Selama kurang lebih 30 menit menunggu dan melihat ikan tersebut tidak kembali ke permukaan, mereka memutuskan untuk kembali ke pantai, yakin bahwa ikan itu telah berhasil kembali ke habitatnya.

“Dengan harapan ikan ini akan bertahan hidup, semoga,” pungkas Prof. Alex Masengi dan Ixchel F. Mandagi, yang mendapatkan informasi detail ini dari wawancara dengan Ibu Lusye Blendinger dan Pak Jendri Pontoh.

Penemuan Coelacanth di Sitaro menambah daftar lokasi keberadaan ikan purba ini di Indonesia.

Pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1997 di Pasar Bersehati Manado, Sulawesi Utara, oleh Ibu Arnaz dan Mark Erdman dalam keadaan mati, ikan tersebut tertangkap di sekitar Pulau Manado Tua.

Selanjutnya, Coelacanth secara berturut-turut ditemukan di Buol Sulawesi Tengah, sekitar Pulau Talisei, Teluk Amurang, Pulau Batu Kapal Kota Bitung, Biak Papua, dan Raja Ampat. Penemuan terbaru sebelumnya tercatat di sekitar Pulau Ternate pada Oktober 2024 dan Teluk Buko Atinggola pada Januari 2025.

[**/ARP]