Pacu Jalur bukan sekadar lomba mendayung. Tradisi ini sudah berlangsung sejak abad ke-16 di sepanjang Sungai Kuantan, dari Hulu Kuantan hingga Cerenti.
Dulu menjadi moda transportasi utama, kini berkembang menjadi identitas sosial dan ajang pesta rakyat.
Setiap perahu dihiasi ukiran kepala ular, buaya, atau harimau.
Panjangnya mencapai 40 meter dan memuat hingga 60 pendayung. Biaya pembuatan satu perahu bisa mencapai Rp100 juta, yang sebagian besar dibiayai secara swadaya oleh masyarakat.
Letupan tiga kali meriam karbit menjadi aba-aba dimulainya pacu, dengan formasi lengkap: tukang concang (komando), tukang pinggang (juru mudi), tukang tari (ikon aksi), dan tukang onjay (pendayung utama).
Gubernur Riau, Abdul Wahid, menyatakan rasa terima kasih kepada para kreator konten.
“Tanpa mereka, budaya kita tidak akan se-viral ini. Mereka pahlawan digital yang menghidupkan kembali tradisi dalam format modern,” ujarnya di Pekanbaru, Selasa (8/7/2025).
Ia mendorong generasi muda Riau menjadi duta budaya digital. “Sekecil apa pun kontribusi, tetap berdampak besar,” tegasnya.
Kita ingin Pacu Jalur tak hanya viral, tapi diakui dan dilestarikan dunia.”
Festival Pacu Jalur 2025 diprediksi akan menjadi yang terbesar sepanjang sejarah, dengan dukungan dari pusat, daerah, masyarakat, hingga netizen global.
Dari warisan kolonial menjadi ajang kebanggaan nasional dan kini bersiap menyapa dunia sebagai budaya unggulan Indonesia.
[**/ARP]

