JAKARTA– Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R. Haidar Alwi, mengingatkan Presiden Prabowo Subianto agar mewaspadai dampak Revisi Undang-Undang (UU) Kejaksaan dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang saat ini masuk dalam Prolegnas Prioritas 2025.

Menurut Haidar Alwi, usulan revisi ini berpotensi memicu kembali gejolak seperti yang terjadi pada tragedi 2019, ketika gelombang aksi protes besar-besaran menolak Revisi UU KPK dan KUHP.

Saat itu, bentrokan antara massa dan aparat menyebabkan kerusakan fasilitas umum, instabilitas keamanan, serta jatuhnya korban jiwa dari kalangan pelajar dan mahasiswa.

“Sebelum terlambat, kita harus mengingatkan Presiden Prabowo Subianto agar tragedi 2019 tidak terulang kembali.

Apalagi, ini adalah tahun pertama pemerintahan beliau, dan kita tahu bahwa Presiden tidak menginginkan adanya gejolak yang justru dapat mengganggu stabilitas nasional,” tegas Haidar Alwi, Selasa (4/2/2025).

Salah satu sorotan utama dalam Revisi UU Kejaksaan adalah pemberian kewenangan penuh kepada jaksa dalam perkara pidana melalui asas dominus litis.

Asas ini memungkinkan kejaksaan mengontrol sepenuhnya jalannya proses hukum, mulai dari penyelidikan hingga penuntutan, bahkan bisa menentukan sah atau tidaknya penangkapan dan penyitaan—hal yang selama ini menjadi wewenang lembaga kehakiman.

“Bukan soal memperlemah atau memperkuat lembaga, tetapi revisi ini justru menimbulkan tumpang tindih kewenangan.

Bahkan, jika tidak ingin disebut sebagai upaya melucuti wewenang kepolisian dan kehakiman,” kata Haidar Alwi.

Kejaksaan tidak hanya dapat menyelidiki dan menyidik sendiri suatu kasus, tetapi juga memiliki hak mengintervensi penyidikan yang dilakukan kepolisian.

Dengan kata lain, jaksa bebas menentukan kapan suatu perkara naik ke penyidikan, dilanjutkan, atau dihentikan, tanpa perlu mekanisme pengawasan yang ketat.

“Hal ini sangat rawan disalahgunakan karena mengabaikan prinsip checks and balances.

Jaksa bisa saja berada di bawah tekanan politik, kepentingan pribadi, atau bahkan terjerumus dalam praktik korupsi.

Ini jelas bahaya bagi penegakan hukum kita,” lanjut Haidar Alwi.

Haidar Alwi juga menyoroti bahwa kejaksaan selama ini telah menyaingi KPK dalam penanganan perkara korupsi.

Mulai dari penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan, kewenangan kejaksaan dalam kasus korupsi tampak lebih dominan daripada fungsinya sebagai penuntut umum.

Secara normatif-yuridis, kejaksaan sebenarnya tidak memiliki kewenangan untuk menyidik tindak pidana korupsi (tipikor), kecuali sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).

Namun, dalam praktiknya, jaksa sering kali bertindak seolah-olah memiliki kewenangan penyidikan yang setara dengan KPK atau kepolisian.

“Jika jaksa memang bertindak sebagai PPNS, seharusnya mereka tetap berada dalam pengawasan dan koordinasi penyidik kepolisian.

Namun faktanya, apakah selama ini kejaksaan benar-benar berkoordinasi dengan Polri sebagai Korwas PPNS dalam penyidikan perkara?” tanya Haidar Alwi.

KUHAP sendiri telah menganut pemisahan tegas antara fungsi penyidikan dan penuntutan.

Namun, melalui revisi ini, kejaksaan justru semakin memperluas cakupan kewenangannya, sehingga berpotensi menjadi “lembaga superbody” yang tidak terkendali.

“Jika revisi ini disahkan, kejaksaan tidak hanya menyaingi KPK dalam kasus korupsi, tetapi juga akan memiliki kuasa yang lebih besar dari kepolisian dalam penyidikan, serta dapat mengintervensi keputusan pengadilan.

Ini sangat berbahaya bagi sistem peradilan kita,” jelasnya.

Gelombang penolakan terhadap asas dominus litis mulai mengemuka di masyarakat.

Hingga sore hari ini, hampir 40 ribu orang telah menandatangani petisi online menolak revisi UU Kejaksaan dan KUHAP.

Haidar Alwi mengingatkan bahwa jika DPR dan pemerintah tidak menyikapi polemik ini dengan bijak, bukan tidak mungkin protes di dunia maya akan berubah menjadi aksi massa di lapangan.

Terlebih jika revisi tersebut disahkan secara diam-diam tanpa melibatkan partisipasi publik, seperti yang terjadi dalam revisi UU KPK dan KUHP pada 2019.

“Seharusnya, revisi ini bertujuan memperkuat transparansi, akses, serta kesetaraan dalam sistem peradilan pidana.

Bukan justru memperbesar otoritas satu lembaga dengan mengorbankan fungsi checks and balances.

Jika ini dibiarkan, penyalahgunaan kekuasaan, praktik korupsi, dan melemahnya kontrol hukum hanya tinggal menunggu waktu,” tutup Haidar Alwi.

[**/ARP]