KUHAP sendiri telah menganut pemisahan tegas antara fungsi penyidikan dan penuntutan.

Namun, melalui revisi ini, kejaksaan justru semakin memperluas cakupan kewenangannya, sehingga berpotensi menjadi “lembaga superbody” yang tidak terkendali.

“Jika revisi ini disahkan, kejaksaan tidak hanya menyaingi KPK dalam kasus korupsi, tetapi juga akan memiliki kuasa yang lebih besar dari kepolisian dalam penyidikan, serta dapat mengintervensi keputusan pengadilan.

Ini sangat berbahaya bagi sistem peradilan kita,” jelasnya.

Gelombang penolakan terhadap asas dominus litis mulai mengemuka di masyarakat.

Hingga sore hari ini, hampir 40 ribu orang telah menandatangani petisi online menolak revisi UU Kejaksaan dan KUHAP.

Haidar Alwi mengingatkan bahwa jika DPR dan pemerintah tidak menyikapi polemik ini dengan bijak, bukan tidak mungkin protes di dunia maya akan berubah menjadi aksi massa di lapangan.

Terlebih jika revisi tersebut disahkan secara diam-diam tanpa melibatkan partisipasi publik, seperti yang terjadi dalam revisi UU KPK dan KUHP pada 2019.

“Seharusnya, revisi ini bertujuan memperkuat transparansi, akses, serta kesetaraan dalam sistem peradilan pidana.

Bukan justru memperbesar otoritas satu lembaga dengan mengorbankan fungsi checks and balances.

Jika ini dibiarkan, penyalahgunaan kekuasaan, praktik korupsi, dan melemahnya kontrol hukum hanya tinggal menunggu waktu,” tutup Haidar Alwi.

[**/ARP]