MINAHASA, PRONews5.com – Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Sulut soal dugaan penyelewengan retribusi pasar di Minahasa sebesar Rp1 miliar lebih, ternyata hanya puncak gunung es.
Di balik angka itu, desas-desus di lapangan menyebut adanya praktik gelap sewa lapak darurat yang nilainya diduga berlipat ganda dan telah lama dibiarkan tumbuh subur.
BPK mencatat kekurangan penyetoran retribusi pasar sebesar Rp444 juta serta potensi kehilangan penerimaan Rp711,72 juta akibat pungutan tidak sesuai Perda Nomor 1 Tahun 2024.
Selain itu, BPK menyoroti penggunaan karcis tidak tertib di tujuh pasar besar Minahasa—Remboken, Tondano I, Sonder, Tanawangko, Langowan, Kawangkoan, dan Tondano II.
“Penerimaan daerah tidak boleh digunakan langsung tanpa prosedur sah,” tulis BPK dalam laporan hasil pemeriksaan Laporan Keuangan Pemkab Minahasa Tahun Anggaran 2024.
Namun, sejumlah pedagang justru menilai angka Rp1 miliar itu terlalu kecil dibanding uang yang berputar lewat pungutan liar dan sewa lapak musiman.
Menjelang Natal, Tahun Baru, hingga Pengucapan Syukur, muncul deretan lapak darurat di Pasar Tondano dan sejumlah pasar lain yang disewakan dengan tarif Rp1–2 juta per kavling. “Itu bukan setoran resmi.
Uang tidak masuk kas daerah, tapi dibagi-bagi oknum tertentu,” ujar seorang pedagang, Selasa (23/9/2025).
Sumber lain menyebut praktik ini telah berlangsung bertahun-tahun dengan pola terorganisir.
“Ada yang mengatur distribusi lapak, ada yang menarik uang, ada yang bagi hasil. Ini bukan pungli kecil, tapi skema bisnis gelap,” tegasnya.
Jika dihitung, satu musim sewa lapak darurat bisa menghasilkan miliaran rupiah.
Dengan ratusan lapak tersebar di berbagai pasar, jumlahnya diduga jauh melampaui temuan resmi BPK.
“Kalau hanya Rp1 miliar, itu angka kecil. Sewa lapak bisa dua kali lipat lebih besar. Ini yang harus dibongkar,” kata seorang aktivis antikorupsi Sulut.
Sayangnya, Dinas Perdagangan Minahasa hingga kini bungkam.
Kepala Dinas, Dano R. Warouw, tak merespons meski berkali-kali dihubungi wartawan. Nomor ponselnya bahkan sudah tidak aktif.
“Jangan-jangan dia sudah ganti nomor, takut ditanya soal kasus ini,” sindir seorang jurnalis di Tondano.
Kasus ini ramai diperbincangkan di media sosial. Warga mendesak aparat penegak hukum (APH) tidak hanya berhenti pada angka Rp1 miliar yang ditemukan BPK, tetapi menelusuri aliran uang sewa lapak darurat yang jauh lebih merugikan daerah.
Sejumlah aktivis berjanji akan resmi melaporkan dugaan korupsi sewa lapak ke Polres Minahasa, Rabu (24/9/2025). “Ada bukti-bukti yang akan kami buka,” ungkap salah satu aktivis.
Pengamat kebijakan publik di Manado menilai lemahnya pengawasan membuat pasar berubah dari sumber pendapatan daerah menjadi ladang korupsi.
“Sistemnya bocor dari dalam. Kepala pasar dan petugas pemungut tidak tertib, dinas teknis gagal mengontrol,” ujarnya.
Temuan BPK diyakini baru awal. Publik kini menunggu apakah APH berani menelusuri jalur uang gelap ini hingga menyeret pihak-pihak yang terlibat, atau justru membiarkannya tenggelam dalam rutinitas korupsi yang tak tersentuh.
“Kalau kasus ini ditutup-tutupi, berarti negara kalah oleh mafia lapak,” pungkas aktivis tersebut.
[**/ARP]