MANADO, PRONews5.com Operasional PT Hakian Wellem Rumansi (PT HWR) di Ratatotok, Kabupaten Minahasa Tenggara, kembali memicu tanda tanya besar. Dugaan kuat menyebut izin beroperasi perusahaan tambang tersebut telah kadaluwarsa sejak November 2025.

Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), yang menjadi syarat mutlak bagi aktivitas tambang, juga disebut telah habis masa berlakunya.

Namun yang terjadi di lapangan justru sebaliknya: alat berat masih bekerja, ore masih digali, dan produksi emas tetap mengalir tanpa henti.

Sumber internal perusahaan dan pihak industri yang ditemui PRONews5.com pada Senin (24/11/2025) menyatakan terdapat “kejanggalan serius” dalam operasional PT HWR.

Selain soal izin, sumber menyebut adanya pola distribusi emas yang tidak mengikuti mekanisme resmi negara.

Produksi Emas Diduga Tak Masuk ANTAM

Sumber terpercaya dari internal industri mengungkapkan bahwa hasil produksi emas PT HWR diduga tidak disalurkan ke PT ANTAM sebagaimana ketentuan tata niaga mineral.

Informasi yang diperoleh PRONews5.com menyebut emas tersebut dialihkan ke pihak tertentu di wilayah Kotamobagu.

Tidak ada penjelasan resmi dari manajemen PT HWR. Upaya konfirmasi melalui nomor WhatsApp direksi +62 812-**03-***7 juga belum direspons.

Belum adanya klarifikasi ini memperkuat dugaan bahwa ada arus distribusi emas yang sengaja ditutupi dan tidak tercatat dalam sistem resmi negara, sehingga berpotensi merugikan penerimaan pajak mineral secara signifikan.

Sejumlah sumber lapangan juga menyoroti persoalan limbah tambang.

Mereka menemukan indikasi bahwa sistem pembuangan limbah PT HWR tidak memenuhi standar lingkungan.

“Kalau dicek, ada aliran limbah yang tidak sesuai SOP lingkungan. Ini bisa merusak kawasan,” ujar salah satu narasumber yang meminta identitasnya dirahasiakan.

Pada Jumat (19/9/2025), tiga pimpinan perusahaan—Wimbo, Rony Sinadia, dan Andre Tinungki—diperiksa penyidik Kejaksaan Agung RI di Kantor Kejaksaan Tinggi Sulut sejak pukul 09.00 hingga 16.00 WITA.

Pemeriksaan itu menindaklanjuti laporan masyarakat yang mencakup:

• Dugaan penyerobotan lahan milik Elisabeth Laluyan

• Indikasi kerusakan lingkungan

• Dugaan penggelapan pajak pertambangan bernilai miliaran rupiah

Kasi Penkum Kejati Sulut, Januarius L. Bolitobi, menjelaskan bahwa pemeriksaan dilakukan langsung oleh penyidik Kejagung.

Sumber Kejati mengungkap ada lebih dari sepuluh saksi dan pihak perusahaan yang diperiksa, termasuk pelapor dan ahli.

Elisabeth Laluyan hadir didampingi kuasa hukumnya, Dr. Steven Pailah, MH, yang membawa dokumen penting.

“Kami menyerahkan bukti surat Direktur PT HWR, Agus Abidin, tahun 2015, yang menegaskan tanah milik Elisabeth belum dibebaskan. Itu bukti kunci penyerobotan,” tegas Pailah.

Ia juga menyerahkan berkas dugaan penggelapan pajak pertambangan.

Aktivis Lembaga Investigasi Negara (LIN) Sulut, Eddy Rompas, mendesak kejaksaan bertindak transparan dan tidak menunda penanganan kasus.

“Kami minta Kepala Kejati Sulut, Dr. Jacob Hendrik Pattipeilohy, turun tangan langsung mengusut pelanggaran ini. Publik butuh kepastian hukum,” tegas Rompas.

Sementara itu, Kepala Dinas ESDM Sulut, Fransiscus Maindoka, belum memberi pernyataan terkait dugaan izin operasional dan IPPKH yang telah kedaluwarsa.

Hingga berita ini diterbitkan, PT HWR belum mengeluarkan klarifikasi terkait dugaan pelanggaran izin, limbah, maupun distribusi hasil produksi emas. (ARP)

Sebagai media independen, PRONews5.com berkomitmen menyajikan berita akurat dari lapangan. Jika di kemudian hari ditemukan kekeliruan penulisan atau data, redaksi akan melakukan revisi dan klarifikasi sesuai kaidah jurnalisme yang bertanggung jawab.