MANADO, PRONews5.com – Kebakaran maut yang menelan lima korban jiwa di KM Barcelona VA masih menyisakan bara pertanyaan besar. Direktorat Polairud Polda Sulut memang sudah menetapkan tujuh tersangka—empat ABK dan tiga pihak perusahaan—namun sorotan publik kini bergeser ke arah pemilik kapal, PT Surya Pacific Indonesia (SPI), serta lemahnya pengawasan Kementerian Perhubungan.

Kabid Humas Polda Sulut Kombes Pol Alamsyah P. Hasibuan mengungkapkan, enam tersangka sudah ditahan di Rutan Tahti Polda Sulut sejak 22 Agustus 2025, sedangkan satu orang berinisial THS mangkir dengan alasan sakit.

Mereka dijerat pasal 302 ayat 3 UU Pelayaran Nomor 17 Tahun 2008, dengan ancaman 10 tahun penjara atau denda Rp1,5 miliar.

Namun, apakah jeratan hukum hanya berhenti di level ABK dan manajemen lapangan? Atau justru harus menembus jantung korporasi pemilik kapal?

Investigasi lapangan mengungkap, KM Barcelona VA adalah armada milik PT Surya Pacific Indonesia (SPI), operator kapal laut raksasa di Manado. SPI tak hanya memiliki Barcelona VA, tetapi juga kapal Barcelona I, II, IIIA, hingga KM Venecian.

Data Ditkapel Kemenhub menunjukkan Barcelona VA dibangun 2020, dengan kapasitas lebih dari 1.100 GT.

Nama Hansje tercatat sebagai salah satu pengurus perusahaan. Namun hingga berita ini diturunkan, belum ada satu pun pernyataan resmi dari SPI tentang tanggung jawab mereka atas tragedi tersebut.

Diamnya perusahaan justru memperkuat spekulasi publik soal kelalaian sistematis.

Laporan awal menyebut kebakaran dipicu ledakan di ruang mesin.

Kepala Staf Koarmada Laksamana Muda TNI Eko Wahjono menduga ada indikasi kerusakan teknis fatal. “Itu mungkin ada yang meledak dari ruang mesin,” katanya singkat.

Jika benar penyebabnya berasal dari mesin, muncul pertanyaan: apakah prosedur perawatan kapal dijalankan sesuai standar? Apakah sertifikat laik laut yang diterbitkan Kemenhub hanya formalitas?

Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kemenhub memang merilis kronologi resmi bahwa kapal terbakar pada 20 Juli pukul 14.00 WITA di perairan Pulau Talise saat berlayar dari Lirung ke Manado.

Namun, kronologi saja tak cukup menjawab: bagaimana kapal baru berusia empat tahun bisa meledak di tengah laut?

Pakar pelayaran yang enggan disebut namanya menilai ada potensi “pembiaran” dalam pengawasan. “Kapal sebesar itu tidak mungkin beroperasi tanpa sertifikat laik laut.

Kalau sampai terbakar karena mesin, artinya ada dua kemungkinan: pemilik lalai melakukan perawatan atau pemerintah lemah mengawasi,” ujarnya.

Tragedi itu menewaskan lima penumpang, dua di antaranya belum teridentifikasi. Sebanyak 284 orang lainnya selamat, namun banyak di antaranya mengalami trauma.

Tiga pasien rujukan medis dari RS di Talaud yang ikut dalam kapal bahkan nyaris kehilangan nyawa di tengah kepanikan.

Bagi keluarga korban, jeratan hukum pada tujuh tersangka hanyalah awal.

Mereka menuntut tanggung jawab lebih dari sekadar ABK, menuntut keadilan hingga ke pemilik kapal.

Kasus ini membuka borok lama: standar keselamatan pelayaran yang rapuh, pengawasan pemerintah yang tumpul, serta mentalitas bisnis transportasi laut yang lebih mementingkan keuntungan dibanding nyawa manusia.

Publik kini menunggu apakah aparat berani menembus dinding korporasi PT SPI dan menggugat kelalaian Kemenhub, ataukah tragedi KM Barcelona VA hanya akan berakhir dengan hukuman ringan bagi para “kambing hitam” di lapangan.

[**/ARP]