MINAHASA|PRONews5.com– Aktivitas pertambangan tanpa izin kembali mencuat di Kabupaten Minahasa. Sebuah lokasi galian C di Desa Warembungan teridentifikasi sebagai milik anggota DPRD Minahasa berinisial RL.
Lokasi pertambangan ini diduga beroperasi tanpa mengantongi izin usaha pertambangan (IUP), izin pertambangan rakyat (IPR), izin usaha pertambangan khusus (IUPK), maupun surat izin pertambangan batuan (SIPB).
Bahkan, RL disebut-sebut meraup keuntungan miliaran rupiah setiap tahunnya dari aktivitas ilegal tersebut.
Hasil investigasi sejumlah tim wartawan pada Senin (25/2/2025) menemukan adanya aktivitas pertambangan di lokasi tersebut.
Sejumlah warga di Jaga 8 dan Jaga 9 Desa Warembungan mengonfirmasi bahwa tambang tersebut memang dikelola oleh RL, yang merupakan anggota DPRD Minahasa dari Fraksi PDI-P.
“Itu galian milik Bapak RL. Setiap hari sering terlihat kendaraan milik RL melintas di jalan ini,” ujar salah satu warga yang enggan disebutkan namanya.
Warga lain juga mengungkapkan bahwa aktivitas tambang ini sudah berlangsung sejak tahun 2024 hingga kini tanpa ada tindakan tegas dari pihak berwenang.
“Yang torang tahu itu galian C sudah ada sejak tahun lalu (2024),” tambahnya.
Saat dikonfirmasi, RL belum memberikan tanggapan.
Upaya untuk menghubungi RL melalui nomor WhatsApp yang bersangkutan juga tidak mendapatkan respons, meski status pesan terlihat telah dibaca.
Menanggapi temuan ini, Ketua Lembaga Independen Barisan Pemantau Aset Negara (LI-BAPAN) Sulut, Marthen Sula, mendesak Polda Sulut dan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sulut untuk segera menertibkan aktivitas galian C di Warembungan.
Sula meminta agar semua tambang di daerah tersebut diperiksa guna memastikan legalitasnya.
“Kami berharap Kapolda Sulut, Irjen Pol. Roycke Langie, SIK, MH, serta Kepala Dinas ESDM Sulut segera memeriksa oknum-oknum yang dengan sengaja menjalankan bisnis ilegal yang merugikan negara.
Kasihan para pengusaha tambang lain yang taat hukum dengan mengurus izin dan membayar pajak setiap tahun, sementara ada pihak yang memanfaatkan jabatan untuk menghindari hukum,” tegas Sula.
Lebih lanjut, Sula menekankan bahwa jika aktivitas pertambangan ini terbukti ilegal, maka ada konsekuensi hukum yang harus diterima oleh pelaku.
Berdasarkan Pasal 98 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pelaku dapat dikenakan sanksi pidana berupa penjara minimal 3 tahun dan maksimal 10 tahun serta denda antara Rp3 miliar hingga Rp10 miliar.
Hingga berita ini diterbitkan, belum ada pernyataan resmi dari pihak berwenang terkait tindak lanjut kasus ini.
Publik kini menanti langkah konkret dari Polda Sulut dan Dinas ESDM Sulut dalam menindak tegas aktivitas tambang ilegal yang berpotensi merusak lingkungan serta merugikan negara.
Jika dibiarkan berlarut-larut, hal ini dapat menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di sektor pertambangan Sulawesi Utara.
[**/ARP]