MANADO, PRONews5.com – Sebuah dokumen perjanjian hibah senilai Rp7,5 miliar antara Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara (Pemprov Sulut) dan Sinode Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) viral di media sosial.

Isinya memicu perdebatan publik mengenai transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana tersebut, yang diduga berpotensi disalahgunakan.

Dokumen yang tersebar menunjukkan bahwa hibah tersebut ditujukan untuk pelaksanaan Sidang Sinode GMIM, program EMS, dan Renstra GMIM.

Mantan Gubernur Sulut Olly Dondokambey, SE, sebagai pemberi hibah, dan Ketua BPMS GMIM, Pdt. Dr. Hein Arina, yang mewakili GMIM sebagai penerima hibah, menandatangani perjanjian ini pada 19 Januari 2022.

Hibah ini didasarkan pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 77 Tahun 2020 dan sejumlah peraturan gubernur terkait pengelolaan dana hibah.

Namun, dokumen yang tersebar juga mencantumkan beberapa ketentuan ketat terkait penggunaan dana hibah, antara lain larangan untuk membiayai honor bulanan, perjalanan luar negeri, dan pemberian hadiah.

GMIM diwajibkan untuk menyimpan bukti pengeluaran serta memberikan laporan pertanggungjawaban yang siap diaudit oleh auditor internal, eksternal, serta aparat penegak hukum.

Polda Sulawesi Utara telah menetapkan lima tersangka dalam kasus dugaan penyalahgunaan dana hibah Pemprov Sulut kepada GMIM untuk periode 2020-2023.

Kelima tersangka tersebut meliputi pejabat Pemprov Sulut dan Ketua BPMS GMIM.

Kapolda Sulut, Irjen Pol Roycke Harry Langie, mengungkapkan bahwa kasus ini berawal dari laporan masyarakat, yang kemudian ditindaklanjuti dengan penyelidikan intensif.

Setelah gelar perkara dan berdasarkan bukti yang ada, Polda Sulut meningkatkan status kasus ini menjadi penyidikan.

Lima tersangka yang dijerat antara lain:

  1. AGK – Asisten III Pemprov Sulut (2020–2021), Pj Sekprov (2022)
  2. JK – Kepala Badan Keuangan Sulut (2020)
  3. SK – Sekprov Sulut (Desember 2022–sekarang)
  4. FK – Kepala Biro Kesra Sulut (2021–sekarang)
  5. HA – Ketua BPMS GMIM (2018–sekarang)

Dalam penyidikan ini, Polda Sulut memeriksa total 84 saksi, termasuk pejabat Pemprov, pejabat GMIM, akademisi, dan masyarakat pelapor.

Audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menunjukkan adanya kerugian negara sebesar Rp8.967.684.405.

Kelima tersangka dijerat dengan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ancaman pidana seumur hidup atau penjara 4–20 tahun dan denda hingga Rp1 miliar.

Viralnya dokumen hibah ini menjadi sorotan tajam publik, memunculkan desakan agar pengelolaan dana hibah, khususnya yang melibatkan lembaga keagamaan, dilakukan dengan transparansi dan profesionalisme.

Beberapa warganet mengkritik penggunaan dana publik yang berpotensi disalahgunakan, menegaskan bahwa gereja seharusnya menjadi teladan moral, bukan terlibat dalam praktik koruptif.

Kapolda Sulut mengimbau masyarakat untuk tidak terprovokasi oleh informasi yang beredar dan menghormati proses hukum yang tengah berlangsung.

“Ini ulah oknum, bukan institusi secara keseluruhan,” katanya.

Kasus ini menjadi cermin penting bagi pengelolaan dana hibah di masa depan, di mana transparansi dan akuntabilitas sangat diperlukan untuk memastikan bahwa dana rakyat digunakan dengan benar demi kepentingan publik, bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

[**/ARP]