MANADO, PRONews5.com — Penetapan lima tersangka dalam kasus dugaan korupsi dana hibah untuk Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) oleh Polda Sulawesi Utara (Sulut) menuai kritik tajam dari kalangan akademisi dan pakar hukum nasional.

Salah satu suara lantang datang dari DR. Santrawan Totone Paparang, SH, MH, M.Kn, pakar hukum pidana yang dikenal luas dalam bidang white collar crime di Indonesia.

Menurut Paparang, proses hukum terhadap lima orang tersangka—termasuk Ketua BPMS GMIM Pdt. Dr. Hein Arina dan empat pejabat Pemprov Sulut—terkesan terburu-buru, tidak objektif, dan berpotensi menjadi bentuk kriminalisasi terhadap aparatur negara yang hanya menjalankan tugas birokratis.

Ia menilai, kebijakan pemberian hibah adalah kewenangan penuh Gubernur, sehingga jika terjadi pelanggaran, yang seharusnya pertama dimintai pertanggungjawaban adalah Gubernur Sulut saat itu, Olly Dondokambey, bukan para ASN pelaksana di bawahnya.

Diketahui, para tersangka dari unsur Pemprov Sulut adalah Asiano Gamy Kawatu (AGK), Jeffry Korengkeng (JK), Steve Kepel (SK), dan Ferdy Kaligis (FK), yang selama ini dikenal sebagai pejabat karier yang loyal terhadap kebijakan pimpinan.

Namun, menurut Paparang, loyalitas itu justru menjadi jebakan hukum yang kini menyeret mereka dalam kasus yang tak seharusnya mereka tanggung sendiri.

Ia menegaskan bahwa para ASN tersebut tidak memiliki diskresi anggaran dan hanya menjalankan instruksi, sehingga penetapan mereka sebagai tersangka bisa menjadi preseden buruk bagi sistem pemerintahan.

Paparan yang lebih mengkhawatirkan dari pakar hukum ini adalah dugaan adanya muatan politis di balik proses hukum ini.

Ia mengingatkan bahwa menjelang Pilkada 2024, segala kemungkinan politisasi hukum sangat mungkin terjadi.

Penetapan tersangka terhadap tokoh gereja dan para pejabat bisa saja digunakan untuk menggiring opini publik serta menjatuhkan nama-nama tertentu, sementara aktor utama yang membuat kebijakan justru tak tersentuh.

Paparang menekankan bahwa hukum seharusnya tidak dijadikan alat untuk menutupi tanggung jawab pejabat yang lebih tinggi.

Jika Gubernur saat itu membuat keputusan pemberian hibah tanpa dasar hukum yang kuat, maka dialah yang pertama-tama harus dimintai pertanggungjawaban, baik secara pidana maupun administratif.

Bukan sebaliknya, ASN teknis yang hanya menandatangani dokumen berdasarkan disposisi pimpinan.

Lebih lanjut, Paparang menyarankan agar para ASN yang telah ditetapkan sebagai tersangka segera mengambil langkah hukum strategis.

Di antaranya, mengajukan praperadilan guna menguji keabsahan penetapan tersangka oleh penyidik Polda Sulut.

Jika dalam proses itu ditemukan cacat hukum, maka status tersangka bisa dibatalkan.

Ia juga menyarankan agar para tersangka melapor ke PROPAM Mabes Polri apabila proses penyidikan dianggap tidak objektif atau melanggar kode etik.

Selain itu, permohonan gelar perkara khusus ke Kabareskrim Polri dinilai penting agar kasus ini dikaji ulang secara nasional, terbuka, dan melibatkan pihak independen.

“Ini bukan soal suka atau tidak suka pada individu. Ini menyangkut tegaknya keadilan dan integritas sistem hukum kita,” ujar Paparang tegas.

Di sisi lain, Kapolda Sulut Irjen Pol Roycke Harry Langie menyatakan bahwa penetapan lima tersangka telah melalui penyelidikan dan penyidikan yang mendalam.

Ia menyebutkan, berdasarkan hasil audit lembaga resmi negara, ditemukan kerugian keuangan negara sebesar Rp8.967.684.405 dari dana hibah tersebut.

Kapolda menegaskan bahwa kasus ini akan diproses secara tuntas tanpa pandang bulu.

Namun demikian, publik kini mulai mempertanyakan arah penegakan hukum dalam kasus ini.

Jika benar terjadi kerugian negara sebesar hampir Rp9 miliar, mengapa pejabat utama pengambil kebijakan justru tidak tersentuh oleh proses hukum? Pertanyaan ini mengemuka seiring berkembangnya persepsi bahwa hukum di negeri ini kembali menunjukkan wajah klasiknya: tajam ke bawah, tumpul ke atas.

Kasus hibah GMIM kini tidak lagi sekadar menjadi persoalan hukum administratif, melainkan telah menyentuh aspek fundamental dari kepercayaan publik terhadap keadilan.

Bila aktor kebijakan dibiarkan bebas, sementara pelaksana teknis dikorbankan, maka ini bukan hanya pelanggaran terhadap hukum—tetapi juga bentuk nyata dari pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip keadilan itu sendiri.

[**/ARP]