Jika dalam proses itu ditemukan cacat hukum, maka status tersangka bisa dibatalkan.
Ia juga menyarankan agar para tersangka melapor ke PROPAM Mabes Polri apabila proses penyidikan dianggap tidak objektif atau melanggar kode etik.
Selain itu, permohonan gelar perkara khusus ke Kabareskrim Polri dinilai penting agar kasus ini dikaji ulang secara nasional, terbuka, dan melibatkan pihak independen.
“Ini bukan soal suka atau tidak suka pada individu. Ini menyangkut tegaknya keadilan dan integritas sistem hukum kita,” ujar Paparang tegas.
Di sisi lain, Kapolda Sulut Irjen Pol Roycke Harry Langie menyatakan bahwa penetapan lima tersangka telah melalui penyelidikan dan penyidikan yang mendalam.
Ia menyebutkan, berdasarkan hasil audit lembaga resmi negara, ditemukan kerugian keuangan negara sebesar Rp8.967.684.405 dari dana hibah tersebut.
Kapolda menegaskan bahwa kasus ini akan diproses secara tuntas tanpa pandang bulu.
Namun demikian, publik kini mulai mempertanyakan arah penegakan hukum dalam kasus ini.
Jika benar terjadi kerugian negara sebesar hampir Rp9 miliar, mengapa pejabat utama pengambil kebijakan justru tidak tersentuh oleh proses hukum? Pertanyaan ini mengemuka seiring berkembangnya persepsi bahwa hukum di negeri ini kembali menunjukkan wajah klasiknya: tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Kasus hibah GMIM kini tidak lagi sekadar menjadi persoalan hukum administratif, melainkan telah menyentuh aspek fundamental dari kepercayaan publik terhadap keadilan.
Bila aktor kebijakan dibiarkan bebas, sementara pelaksana teknis dikorbankan, maka ini bukan hanya pelanggaran terhadap hukum—tetapi juga bentuk nyata dari pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip keadilan itu sendiri.
[**/ARP]