BITUNG, PRONews5.com – Sekretaris Kota (Sekot) Bitung, Rudy Theno, didesak bertanggung jawab atas skandal pembayaran pembebasan lahan sebesar Rp 2 miliar di Kelurahan Sagerat, Kecamatan Matuari, yang diduga kuat melanggar prosedur hukum dan berpotensi merugikan keuangan negara.
Temuan ini terungkap dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI Perwakilan Sulawesi Utara tahun anggaran 2024.
Transaksi oleh Pemerintah Kota Bitung tersebut dilakukan tanpa appraisal dari lembaga independen dan tanpa kepemilikan sah berupa sertifikat asli, karena dokumen tersebut masih dijaminkan di bank.
Praktik ini disebut sebagai pelanggaran fatal dalam pengadaan aset daerah dan berisiko membuat uang negara hilang tanpa kepastian hak atas tanah.
Meski indikasi pelanggaran jelas, tidak ada satu pun pejabat teknis yang dikenai sanksi, termasuk Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Sorotan publik pun mengarah ke Sekot Rudy Theno yang dinilai gagal menjalankan fungsi pengawasan dan pembinaan internal keuangan daerah.
“Apa arti jabatan Sekot jika pemborosan uang negara sebesar Rp 2 miliar bisa terjadi tanpa intervensinya? Apakah pengawasan internalnya lemah, atau memang disengaja?” demikian pertanyaan tajam yang dilayangkan PRONews5.com lewat konfirmasi resmi kepada Rudy Theno.
Namun saat dikonfirmasi pada Selasa (29/7/2025), Rudy hanya menjawab singkat dan mengalihkan:
“Saya tidak ada di kantor lagi, saya sudah di Pemprov Sulut. Hubungi saja Kadis PUPR, dia itu Pengguna Anggarannya.”
Pengamat hukum dan kebijakan publik, Berty Alan Lumempouw, SH, menilai pembayaran tanpa appraisal dan tanpa sertifikat asli adalah pelanggaran terhadap prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan keuangan negara, sebagaimana diatur dalam UU Tipikor Pasal 2 dan 3 serta Permendagri No. 19 Tahun 2016.
“Kalau proyek ini disebut mendesak, apakah urgensi bisa dijadikan dalih untuk melanggar hukum?” tanya Lumempouw, merujuk pada Putusan Mahkamah Agung No. 42K/TIP/2019.
Menurutnya, Pemkot Bitung telah mengabaikan syarat dasar transaksi: objek harus sah, bersertifikat, dan bernilai wajar berdasarkan appraisal independen. Tanpa itu, maka potensi kerugian keuangan negara sangat besar, apalagi jika bank sewaktu-waktu menyita lahan yang masih diagunkan.
Pihak bank yang memegang sertifikat juga dinilai lalai, karena tidak menyampaikan pemberitahuan resmi bahwa lahan tersebut masih menjadi jaminan kredit aktif.
Padahal, sesuai UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, bank wajib menjaga transparansi status agunan dalam proses transaksi.
Lumempouw juga mewanti-wanti kemungkinan adanya indikasi gratifikasi dalam kasus ini, jika ditemukan aliran dana ke pejabat atau pengambilan keputusan yang tidak didasari aturan.
“Jika ditemukan aliran dana atau keuntungan pribadi, maka ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi struktural dan sistemik,” tegasnya, mengacu pada Pasal 12B UU Tipikor.
Berty Lumempouw mendesak BPK RI untuk melimpahkan temuan ini ke Inspektorat Provinsi Sulut dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) guna dilakukan audit investigatif dan penyidikan lanjutan.
“Jika Sekot tahu dan membiarkan, ini masuk kategori pembiaran aktif.
Jika tidak tahu, berarti sistem pengawasan di Pemkot Bitung sangat lemah. Kedua kondisi itu sama-sama membahayakan keuangan negara,” ujarnya.
Ia juga meminta agar transaksi dibatalkan dan dana dikembalikan oleh penerima, karena objek tidak layak dibayar secara hukum.
Jika tidak ada langkah tegas, Lumenpouw khawatir kasus serupa akan terus berulang di daerah lain dengan modus yang sama.
“Jika dibiarkan, ini bisa menjadi preseden buruk. Negara rugi, publik dikorbankan, dan oknum pejabat bisa terus bermain dengan uang rakyat,” tutupnya.
[**/ARP]