PARIGI MOUTONG- Tindakan Kapolsek Tinombo, IPTU I Kadek Putra Trisnawa, SH, yang membongkar tempat produksi minuman keras tradisional jenis Cap Tikus di lima lokasi di Desa Sintuvu Raya, Jumat (7/2/2025), menuai reaksi keras dari masyarakat.
Alih-alih mendapat apresiasi, langkah kepolisian ini justru dihujani kritik tajam dari warganet yang menilai tindakan tersebut merugikan petani lokal.
Di media sosial, unggahan terkait pembongkaran ini memicu perdebatan panas.
Sejumlah warganet mengecam tindakan tersebut dengan alasan bahwa produksi Cap Tikus merupakan mata pencarian utama bagi banyak keluarga di wilayah tersebut.
“Polsek harus bijak! Yang melanggar itu pemabuk yang bikin onar, bukan petani yang mencari nafkah. Mabuk tidak dilarang selama tidak mengganggu orang lain. Polisi jangan hanya terpaku pada aturan tanpa melihat dampaknya!” tulis seorang pengguna Facebook.
Beberapa warganet bahkan menyoroti ketimpangan dalam penegakan hukum, membandingkan dengan tambang emas ilegal yang diduga dibiarkan beroperasi.
“Tambang ilegal di pantai timur sampai Moutong merusak alam, tapi dibiarkan. Kenapa yang hanya mencari sesuap nasi dihantam habis-habisan?” tanya seorang warga dalam kolom komentar.
Sejumlah komentar lain juga mengingatkan bahwa banyak keluarga yang menggantungkan hidup dari produksi Cap Tikus.
“Ada anak yang bisa sekolah sampai perguruan tinggi karena orang tuanya petani Cap Tikus. Ada juga polisi yang mungkin bisa jadi aparat karena hasil dari usaha ini. Jangan hanya bongkar, beri solusi!” tulis seorang warganet yang turut menyebut Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dalam komentarnya.
Kapolsek Tinombo, IPTU I Kadek Putra Trisnawa, SH, sebelumnya kepada wartawan menegaskan bahwa operasi pembongkaran dilakukan sebagai bagian dari upaya menjaga keamanan dan ketertiban, terutama menjelang bulan suci Ramadhan.
“Kami melakukan penindakan ini untuk menciptakan lingkungan yang kondusif, mengingat minuman keras sering menjadi pemicu gangguan keamanan. Ini bukan sekadar penegakan hukum, tetapi juga demi kepentingan masyarakat,” ujar Kapolsek.
Selain membongkar tempat produksi, pihak kepolisian juga menyita peralatan penyulingan dan hasil olahan Cap Tikus.
Meski sebagian masyarakat memahami niat kepolisian, mereka meminta agar pemerintah dan aparat memberikan solusi konkret bagi para petani aren.
“Kami tidak menolak aturan, tapi kami butuh solusi. Jika produksi Cap Tikus dilarang, apakah ada bantuan atau pelatihan untuk mengolah nira menjadi produk lain seperti gula merah?” ujar seorang warga.
Sebagian masyarakat juga mendukung tindakan tegas kepolisian terhadap peredaran narkoba, yang dinilai jauh lebih merusak dibandingkan minuman keras tradisional.
“Kami berharap kepolisian juga fokus memberantas pengedar narkoba di Tinombo. Banyak yang menjadi pencuri dan perusak masa depan karena narkoba. Kami siap mendukung!” kata seorang warga yang turut mengomentari unggahan Polsek Tinombo.
Kasus ini kembali menyoroti dilema antara penegakan hukum dan realitas ekonomi masyarakat. Sementara pihak kepolisian bertindak sesuai regulasi, banyak warga merasa tindakan tersebut terlalu keras dan tanpa solusi.
Kini, bola panas ada di tangan pemerintah daerah dan aparat penegak hukum.
Apakah akan ada solusi alternatif bagi petani Cap Tikus? Atau apakah penegakan hukum akan terus dilakukan tanpa kompromi?
Yang jelas, suara masyarakat telah menggema di ruang publik, menuntut keadilan dan kebijakan yang lebih bijaksana.
[**/AK]