Kapolsek Tinombo, IPTU I Kadek Putra Trisnawa, SH, sebelumnya kepada wartawan menegaskan bahwa operasi pembongkaran dilakukan sebagai bagian dari upaya menjaga keamanan dan ketertiban, terutama menjelang bulan suci Ramadhan.

“Kami melakukan penindakan ini untuk menciptakan lingkungan yang kondusif, mengingat minuman keras sering menjadi pemicu gangguan keamanan. Ini bukan sekadar penegakan hukum, tetapi juga demi kepentingan masyarakat,” ujar Kapolsek.

Selain membongkar tempat produksi, pihak kepolisian juga menyita peralatan penyulingan dan hasil olahan Cap Tikus.

Meski sebagian masyarakat memahami niat kepolisian, mereka meminta agar pemerintah dan aparat memberikan solusi konkret bagi para petani aren.

“Kami tidak menolak aturan, tapi kami butuh solusi. Jika produksi Cap Tikus dilarang, apakah ada bantuan atau pelatihan untuk mengolah nira menjadi produk lain seperti gula merah?” ujar seorang warga.

Sebagian masyarakat juga mendukung tindakan tegas kepolisian terhadap peredaran narkoba, yang dinilai jauh lebih merusak dibandingkan minuman keras tradisional.

“Kami berharap kepolisian juga fokus memberantas pengedar narkoba di Tinombo. Banyak yang menjadi pencuri dan perusak masa depan karena narkoba. Kami siap mendukung!” kata seorang warga yang turut mengomentari unggahan Polsek Tinombo.

Kasus ini kembali menyoroti dilema antara penegakan hukum dan realitas ekonomi masyarakat. Sementara pihak kepolisian bertindak sesuai regulasi, banyak warga merasa tindakan tersebut terlalu keras dan tanpa solusi.

Kini, bola panas ada di tangan pemerintah daerah dan aparat penegak hukum.

Apakah akan ada solusi alternatif bagi petani Cap Tikus? Atau apakah penegakan hukum akan terus dilakukan tanpa kompromi?

Yang jelas, suara masyarakat telah menggema di ruang publik, menuntut keadilan dan kebijakan yang lebih bijaksana.

[**/AK]