Beberapa netizen juga mencurigai pergantian nama proyek sebagai upaya memperluas legitimasi religius. “Christian Center berubah jadi Mission Center.

Apakah ini trik agar terlihat mewakili semua umat Kristen di Sulut?” tanya salah satu komentar.

Tak hanya publik, sejumlah LSM anti korupsi turut angkat bicara. Edy Rompas dari Lembaga Investigasi Nasional (LIN) mempertanyakan akuntabilitas hukum dalam pelaksanaan proyek. “Kalau ada penyimpangan, berarti SKPD yang bertanggung jawab, bukan GMIM?” ujarnya.

Sebelumnya, dalam pembahasan Pansus LKPJ, Liputo juga mengungkap bahwa anggaran tersebut tidak pernah dibahas secara terbuka di Banggar DPRD Sulut.

“Setiap kami minta data, tidak pernah diberikan. Baru kali ini ada laporan lengkap,” ujarnya, sembari menegaskan bahwa ini bukan isu keagamaan, melainkan transparansi penggunaan anggaran publik.

Menambah keraguan publik, anggota DPRD Louis Schramm menyampaikan bahwa lahan proyek Mission Center masih dalam status sengketa hukum akibat klaim dari ahli waris yang belum terselesaikan.

Namun, Asisten I Denny Mangala membantah hal itu, mengatakan bahwa tanah masih milik Pemprov Sulut dan yang diberikan kepada GMIM hanyalah hak pengelolaan.

Ketua DPRD Sulut, Fransiscus Andi Silangen, di sisi lain menyatakan bahwa alokasi hibah tersebut telah melalui prosedur yang sesuai, walau ini tampaknya bertolak belakang dengan pernyataan Amir Liputo soal minimnya akses data dari eksekutif ke legislatif.

Meski klarifikasi telah disampaikan baik oleh DPRD maupun Pemprov Sulut, polemik dana hibah Mission Center Rp 65 miliar ini belum mereda.

Masyarakat masih menuntut kejelasan status hukum proyek, akuntabilitas penggunaan dana publik, serta pemerataan bantuan pemerintah lintas agama dan lembaga demi menjaga keadilan dan kepercayaan publik.

[**/ARP]