MANADO, PRONews5.comDua mantan pejabat penting di lingkungan Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara, Jeffry Korengkeng dan Fredy Kaligis, kembali menjadi sorotan publik usai menjalani pemeriksaan di Polda Sulut, Kamis (10/04/2025), terkait kasus dugaan korupsi dana hibah untuk Sinode GMIM.

Keduanya merupakan bagian dari lima tersangka yang telah ditetapkan dalam kasus yang menimbulkan kerugian negara hingga Rp8,9 miliar.

Sekitar pukul 10.00 WITA, Jeffry Korengkeng, mantan Kepala Badan Keuangan dan Aset Daerah Sulut tahun 2020, tampak memasuki lingkungan Polda Sulut.

Disusul beberapa menit kemudian oleh Fredy Kaligis, yang saat ini masih menjabat Kepala Biro Kesejahteraan Rakyat Sulut.

Keduanya terlihat keluar dari ruang penyidik Tipikor sekitar pukul 10.35 WITA tanpa memberikan banyak komentar.

“Memenuhi panggilan,” ujar singkat Jeffry sambil bergegas meninggalkan wartawan. Fredy pun hanya berkata, “Kita serahkan kepada penyidik,” sebelum masuk ke mobil pribadinya.

Seorang sumber di lingkungan penyidik menyebut bahwa kedatangan kedua tersangka tersebut hanya untuk mengantar berkas, meskipun tidak dijelaskan secara rinci berkas apa yang dimaksud.

Pemeriksaan terhadap Jeffry dan Fredy dilakukan di tengah intensifnya penyidikan kasus dugaan tindak pidana korupsi dana hibah dari Pemprov Sulut kepada Sinode GMIM selama periode 2020 hingga 2023.

Kasus ini menyeret lima nama yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Selain Jeffry Korengkeng (JK) dan Fredy Kaligis (FK), tiga tersangka lainnya adalah AGK (Asisten III Pemprov Sulut 2020–2021 dan Pj Sekprov 2022), SK (Sekprov Sulut sejak Desember 2022), serta HA yang menjabat Ketua BPMS GMIM sejak 2018.

Kapolda Sulut, Irjen Pol Roycke Harry Langie, dalam konferensi pers pada Senin (7/4/2025) malam, menegaskan bahwa penetapan tersangka dilakukan setelah melalui proses penyelidikan mendalam dan gelar perkara yang sesuai dengan standar hukum.

Dari total 84 saksi yang telah diperiksa, penyidik telah menggali keterangan dari berbagai unsur, termasuk Badan Keuangan dan Aset Daerah, Biro Kesra, Inspektorat, Tim Anggaran Pemprov, unsur Sinode GMIM, UKIT, hingga pelapor dari kelompok masyarakat.

Selain itu, penyidik turut melibatkan keterangan ahli dari Kemendagri, Kemenkumham, akademisi dari Politeknik, serta auditor dari BPKP. Hasil audit BPKP menunjukkan adanya kerugian negara senilai Rp8.967.684.405.

Kelima tersangka disangkakan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001, junto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Ancaman hukumannya sangat berat, yakni pidana penjara seumur hidup atau penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun, serta denda antara Rp200 juta hingga Rp1 miliar.

Kapolda Roycke mengimbau masyarakat untuk tidak terprovokasi oleh informasi simpang siur dan menyerahkan sepenuhnya proses hukum kepada aparat penegak hukum.

Ia menegaskan bahwa Polda Sulut menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah serta menghormati hak asasi manusia dalam setiap langkah penyidikan.

Kasus ini menjadi ujian serius bagi integritas birokrasi dan lembaga keagamaan di Sulawesi Utara.

Publik berharap proses hukum berjalan transparan, adil, dan tidak tebang pilih. Sementara itu, penetapan lima tersangka dari unsur pemerintah dan gereja menjadi sinyal tegas bahwa praktik penyalahgunaan dana hibah tidak akan ditoleransi dan harus dipertanggungjawabkan sepenuhnya di hadapan hukum.

[**/ARP]