LMI menegaskan, tidak boleh ada perlakuan istimewa bagi siapa pun, apalagi dalam kasus korupsi yang menyangkut institusi keagamaan besar seperti GMIM.
“Di Indonesia ini tidak ada yang kebal hukum, apalagi koruptor yang bikin susah rakyat. Kalau terbukti, tangkap dan adili seberat-beratnya!” seru Tonaas Noldy.
Ia juga menyatakan dukungan penuh terhadap langkah Kapolda Sulut Irjen. Pol. Dr. Roycke Harry Langie, S.I.K., M.H. yang dianggap sejalan dengan semangat Presiden Prabowo Subianto dalam memberantas korupsi.
“Jangan berlindung di balik nama GMIM. Bila itu ulah oknum, tangkap, penjarakan, dan hukum berat. Bila perlu, saya minta Presiden Prabowo miskinkan para koruptor karena mereka adalah musuh negara,” ujar Noldy.
LMI Minahasa menilai, keberadaan Hein Arina di tengah polemik ini sebagai simbol dari penyimpangan besar yang mencederai Pakta Integritas GMIM tahun 2022, yang sejatinya menjunjung tinggi moralitas, transparansi, dan akuntabilitas pelayanan.
“Kami tidak akan tinggal diam. Sudah cukup bukti dan keresahan jemaat. Polda Sulut harus segera bertindak. Kalau tidak, kami akan gerakkan aksi damai besar-besaran di depan Mapolda Sulut,” tegasnya.
Sejauh ini, belum ada pernyataan resmi dari pihak Polda Sulut mengenai desakan LMI untuk segera menahan tiga tersangka yang belum ditahan. Namun, tekanan publik kian menguat dan kasus ini terus menjadi sorotan masyarakat Sulawesi Utara.
Di akhir pernyataannya, LMI Minahasa menyampaikan apresiasi atas langkah awal Polda Sulut dan berkomitmen terus mengawal proses hukum secara transparan dan tuntas.
“Bravo Polda Sulut! Jangan kendor, kami LMI bersama Polri. Bersihkan Sulut dari para koruptor!” pungkas Noldy Lila.
[**/ARP]