JAKARTA- Sidang sengketa Pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK) menyoroti sikap Komisi Pemilihan Umum (KPU) Tomohon yang diduga tidak jujur dalam memberikan keterangan kepada majelis hakim.
Indikasi ini semakin menguat setelah KPU tampak berusaha “menjual” Komisioner Bawaslu Tomohon untuk membela petahana Caroll Senduk yang diduga melanggar aturan pemilu terkait rolling Aparatur Sipil Negara (ASN) enam bulan sebelum Pilkada.
Dalam uraian sebagai termohon di MK, KPU Tomohon menyatakan bahwa pelantikan pejabat pada 22 Maret 2024 sudah mendapatkan izin dari Kementerian Dalam Negeri (Mendagri).
Namun, fakta yang terungkap menyebutkan bahwa izin Mendagri sebenarnya baru diberikan untuk pelantikan pada 17 Mei 2024.
Izin ini sendiri baru terbit pada 10 Mei 2024, yang berarti pelantikan pada 22 Maret tidak memiliki dasar hukum yang sah.
Pernyataan KPU ini berbanding terbalik dengan fakta hukum yang ada, sehingga memunculkan dugaan bahwa KPU sengaja menutupi pelanggaran yang dilakukan oleh pasangan calon nomor urut 03, Caroll Senduk – Sendy Rumayar (CSSR).
Bawaslu Tomohon sebelumnya menyatakan tidak menemukan pelanggaran dalam pencalonan CSSR.
Namun, dalam persidangan, Bawaslu juga tidak mengungkapkan adanya surat mereka tertanggal 25 September 2024 yang dikirim ke KPU.
Surat tersebut berisi imbauan agar KPU memperhatikan Pasal 71 ayat 2 Undang-Undang Pilkada, yang menyebutkan bahwa kepala daerah dilarang mengganti pejabat enam bulan sebelum penetapan calon, kecuali mendapat izin Mendagri.
Logikanya, jika Bawaslu mengingatkan KPU soal aturan ini, berarti ada indikasi pelanggaran yang dilakukan salah satu pasangan calon.
Surat itu pun seharusnya menjadi dasar bagi KPU untuk meninjau kembali keputusan penetapan calon yang sudah dilakukan pada 22 September 2024.
Namun, KPU justru berdalih bahwa tidak ada rekomendasi resmi dari Bawaslu terkait pelanggaran yang dilakukan oleh Paslon 03.
Padahal, surat himbauan dari Bawaslu sendiri sudah menunjukkan adanya indikasi pelanggaran, yang seharusnya dikaji lebih lanjut oleh KPU.
Sikap KPU yang terkesan “pasang badan” untuk petahana membuat sejumlah aktivis demokrasi mempertanyakan independensi penyelenggara pemilu di Tomohon.
Dugaan bahwa KPU sengaja mengabaikan pelanggaran rolling ASN semakin menguat, terutama setelah hakim MK, Arief Hidayat, menegur perwakilan KPU Tomohon dalam sidang pemeriksaan pendahuluan.
Hakim Arief menegaskan bahwa rolling ASN tanpa izin Mendagri merupakan pelanggaran, namun KPU justru berusaha berkelit dengan alasan tidak adanya keterangan resmi dari Bawaslu.
Jawaban KPU yang berputar-putar pun mendapat kritik tajam dari majelis hakim.
Kasus ini menimbulkan pertanyaan besar tentang netralitas KPU Tomohon dalam menjalankan tugasnya sebagai penyelenggara pemilu.
Sikap mereka yang terkesan menutup-nutupi fakta, mengabaikan surat peringatan Bawaslu, serta memberikan keterangan yang tidak sesuai dengan kenyataan, semakin memperkuat dugaan bahwa ada upaya untuk melindungi kepentingan petahana.
Masyarakat kini menanti keputusan MK terkait sengketa Pilkada Tomohon 2024.
Jika dugaan pelanggaran ini terbukti, bukan tidak mungkin akan ada konsekuensi serius bagi KPU Tomohon, termasuk potensi sanksi terhadap komisioner yang terlibat.
[**/ARP]