MANADO, PRONews5.com– Aroma tajam dugaan korupsi akhirnya menyeruak dari balik jubah rohani dan jas birokrasi. Dana hibah dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara (Pemprov Sulut) kepada Sinode Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) senilai Rp21,5 miliar yang dikucurkan sejak 2020 hingga 2023, kini menjadi sorotan tajam publik.
Dalam konferensi pers yang digelar di Mapolda Sulut pada Senin malam (7/4/2025), Kapolda Sulut Irjen Pol Roycke Harry Langie secara tegas mengungkap penetapan lima tersangka, termasuk Ketua BPMS GMIM, Pdt. Dr. Hein Arina.
Tak hanya tokoh gereja, empat pejabat penting Pemprov Sulut pun turut terseret. Mereka adalah:
- AGK (Asiano Gammy Kawatu) – Asisten III Pemprov Sulut 2020–2021, Pj Sekprov 2022
- JK (Jeffry Korengkeng) – Kepala Badan Keuangan Sulut tahun 2020
- SK (Steve Kepel) – Sekprov Sulut Desember 2022–sekarang
- FK (Ferdy Kaligis) – Kepala Biro Kesra Sulut 2021–sekarang
- HA (Hein Arina) – Ketua BPMS GMIM 2018–sekarang
Menurut Kapolda, praktik korupsi ini diduga dilakukan secara sistematis dan melibatkan penyalahgunaan kewenangan, penganggaran, penggunaan, hingga pertanggungjawaban dana hibah yang tidak sesuai prosedur maupun peruntukannya.
“Telah terjadi tindak pidana korupsi pada pemberian dana hibah dari Pemprov Sulut kepada Sinode GMIM secara melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan. Ini mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp8.967.684.405,” tegas Irjen Pol Langie.
Kasus ini menjadi preseden gelap dalam sejarah relasi negara dan lembaga keagamaan di Sulawesi Utara.
Dana hibah yang semestinya menyokong kegiatan pelayanan umat, justru diduga dijadikan bancakan elite.
Lebih ironis, sebagian besar jemaat GMIM di akar rumput mengaku tak pernah merasakan manfaat nyata dari aliran dana miliaran tersebut.
Penegakan hukum dalam kasus ini menggunakan Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, yang mengancam para tersangka dengan hukuman penjara minimal 4 tahun hingga maksimal 20 tahun atau seumur hidup, serta denda hingga Rp1 miliar.
Keterlibatan tokoh agama dalam kasus ini menjadi luka moral yang dalam.
Gereja, sebagai institusi moral dan spiritual, semestinya berdiri di atas kebenaran dan keadilan. Namun kini, jubah pengabdian ternoda dugaan konspirasi anggaran yang menipu umat.
“Jika benar ini terbukti, maka bukan hanya kejahatan finansial. Ini pengkhianatan terhadap iman dan integritas publik,” kata seorang tokoh gereja yang enggan disebutkan namanya.
Langkah cepat Polda Sulut dalam mengungkap kasus ini mendapat apresiasi luas. Namun masyarakat meminta penanganan yang lebih dalam — bukan hanya mengadili individu, tapi membongkar sistem.
“Kami tidak berhenti di sini. Penyidikan terus berjalan, tidak menutup kemungkinan adanya tersangka lain,” ungkap Kapolda.
Tanda-tanda pengusutan jaringan yang lebih luas mulai terlihat.
Publik berharap agar aktor-aktor lain yang mungkin turut bermain, termasuk pejabat politik dan pengambil keputusan di balik layar, juga dibawa ke meja hijau.
Kasus ini membuka diskusi serius tentang hubungan antara lembaga keagamaan dan negara.
Hibah keagamaan tidak boleh menjadi celah untuk praktek busuk, apalagi berlindung di balik simbol suci.
Jika gereja kehilangan suara profetik dan malah larut dalam kuasa duniawi, maka siapa lagi penjaga moral bangsa?
“Gereja bukan kantor proyek. Jangan jadikan mimbar sebagai tameng perampokan anggaran,” tegas seorang aktivis antikorupsi Sulut.
[**/ARP]