JAKARTA, PRONews5.com – Publik kembali mempertanyakan keadilan dalam penegakan hukum di tubuh Polri. Dua kasus berbeda, yakni insiden Kompol Kosmas Kaju Gae di Jakarta dan penembakan warga oleh anggota Brimob di tambang emas ilegal Ratatotok, Sulawesi Utara, menampilkan kontras mencolok dalam kecepatan serta transparansi penyelesaian.

Kasus Kompol Kosmas yang melindas pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, saat unjuk rasa di Jakarta, diproses kilat.

Hanya lima hari setelah insiden, Komisi Kode Etik Profesi (KKEP) Polri menggelar sidang di Mabes Polri dan menjatuhkan sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH). Dalam persidangan, Kompol Kosmas dinyatakan melakukan pelanggaran etik berat yang berujung pada kematian korban.

Ia sempat meminta maaf dan menyatakan akan berdiskusi dengan keluarga korban sebelum memutuskan banding.

Berbeda dengan kasus di Ratatotok, Minahasa Tenggara.

Pada 10 Maret 2025, seorang warga bernama Fernando Tongkotow tewas akibat tembakan, sementara dua orang lainnya luka-luka saat terjadi bentrokan di area tambang emas ilegal.

Delapan anggota Brimob dan Polda Sulut telah diperiksa dan ditempatkan secara khusus (patsus) di Mapolda Sulut.

Sejumlah senjata api laras panjang dan pistol turut disita sebagai barang bukti.

Namun, hingga kini, perkembangan penyidikan terkesan lamban dan tertutup.

Polda Sulut melalui tim gabungan Ditreskrimum dan Ditreskrimsus masih melakukan uji balistik dan autopsi forensik, tetapi informasi resmi ke publik sangat terbatas.

Dugaan motif awal menyebutkan petugas melepaskan tembakan setelah kelompok warga yang membawa senjata tajam tak mengindahkan tembakan peringatan.

Kondisi ini menimbulkan persepsi adanya standar ganda.

Untuk kasus Kompol Kosmas, penanganan berlangsung cepat dan terbuka. Sementara kasus penembakan yang menyangkut hilangnya nyawa warga sipil berjalan tanpa kepastian.

“Publik menilai ada kepentingan yang membayangi penanganan kasus Ratatotok. Apalagi lokasi kejadian berada di tambang emas ilegal yang disebut-sebut melibatkan pihak berpengaruh,” kata seorang pegiat hukum di Manado, Jumat (5/9/2025).

Perbandingan dua kasus ini memperkuat kritik bahwa transparansi penegakan hukum masih timpang.

Masyarakat kini menunggu, apakah kasus Ratatotok akan diselesaikan dengan tegas dan terbuka, atau justru dibiarkan meredup di balik gelapnya praktik tambang ilegal.

[**/ARP]