Puncak absurditas terjadi pada 19 Maret 2025, ketika Voucke melaporkan Maemossa ke polisi atas dugaan pemalsuan dokumen karena menggunakan logo dan cap PWI Sulut.
Namun, laporan itu justru menjadi bumerang. Publik menilai tudingan tersebut tidak berdasar, sebab legitimasi Maemossa berasal dari SK resmi PWI Pusat.
Sebaliknya, Voucke justru dinilai sebagai pihak yang terus menggunakan atribut organisasi secara ilegal.
“Ini bukan cuma soal jabatan, tapi menyelamatkan integritas PWI dari manipulasi dan politisasi,” ujar Maemossa.
Langkah Maemossa diperkuat dengan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 395/Pdt.G/2024/PN Jkt.Pst tertanggal 17 Maret 2025.
Dalam amar putusannya, majelis hakim menolak seluruh gugatan Sayid Iskandarsyah terhadap Dewan Kehormatan PWI.
Hakim menegaskan bahwa konflik internal organisasi seperti PWI harus diselesaikan melalui mekanisme internal, bukan melalui peradilan umum.
Tuntutan ganti rugi fantastis senilai Rp100 miliar pun ditolak mentah-mentah.
Ini memperkuat posisi Maemossa sebagai pemegang kendali sah atas PWI Sulut.
Sebagai Plt Ketua, Maemossa segera menginisiasi langkah pemulihan: verifikasi ulang anggota, konsolidasi internal, serta persiapan Konferensi Luar Biasa (KLB) maksimal enam bulan sejak SK dikeluarkan.
Ia juga mengultimatum siapa pun yang masih menyalahgunakan atribut organisasi tanpa legalitas.
“Tidak ada ruang bagi pelanggar etika dan penyusup. Kami akan bersihkan organisasi demi marwah profesi,” tandasnya.
Penunjukan Maemossa disambut hangat oleh mayoritas wartawan di Sulawesi Utara.
Figur low profile namun tegas ini dinilai sebagai solusi yang dapat meredam konflik dan membangun kembali kredibilitas PWI.
“Ini momentum pembaruan. PWI harus kembali menjadi rumah besar jurnalis, bukan arena perebutan kepentingan pribadi,” pungkas Maemossa.
[**/ARP]