MANADO- Sebuah surat terbuka dari seorang mantan Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Ing Mokoginta, kini tengah viral di media sosial, menggugah rasa keprihatinan publik.
Dalam surat yang ditujukan kepada Presiden Prabowo Subianto ini, Prof. Mokoginta mengungkapkan penderitaannya selama tujuh tahun melawan mafia tanah yang merampas hak miliknya, namun terjebak dalam kebuntuan sistem hukum Indonesia yang tak kunjung memberi keadilan.
Melalui surat yang tersebar di grup Facebook Lambe Kawanua Oficial, Prof. Mokoginta menyuarakan kekecewaannya yang mendalam terhadap aparat penegak hukum yang dinilainya gagal menuntaskan kasusnya.
Dalam surat tersebut, ia menggambarkan dirinya sebagai “pengemis keadilan,” sebuah istilah yang mencerminkan perasaan terabaikan dan tak berdaya ketika haknya atas tanah yang sah dirampas oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
“Negara diam ketika tanah saya dirampas. Negara diam ketika hak saya dirampok,” ungkapnya dengan penuh kesedihan, menandakan sebuah pergolakan batin yang sulit dipahami oleh banyak pihak.
Kasus yang dialami oleh Prof. Mokoginta bermula pada 2017, ketika ia dan keluarganya menghadapi sengketa tanah.
Selama tujuh tahun terakhir, mereka berusaha menuntut keadilan melalui jalur hukum, termasuk melaporkan kasusnya ke Polda Sulut dan Mabes Polri.
Meski sudah ada dua putusan inkrah dari Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Manado dan Pengadilan Negeri Kotamobagu yang mengakui hak mereka atas tanah tersebut, kenyataannya, tanah yang menjadi hak mereka tersebut telah diduduki oleh pihak lain.
“Kami tidak bisa menuntaskan perkara ini meskipun sudah ada keputusan pengadilan,” jelas kuasa hukum Prof. Mokoginta, Nathaniel Hutagaol.
Meskipun telah ada upaya untuk menarik laporan ke Mabes Polri, kasus ini justru semakin berlarut-larut tanpa kejelasan. Menurut pengakuan kuasa hukum, setelah dua tahun lebih ditangani oleh Bareskrim Polri, tak ada kemajuan yang signifikan, bahkan keadilan yang diharapkan tampaknya semakin jauh dari jangkauan mereka.
“Kami sudah mengupayakan segala jalur hukum, namun keadilan masih tetap belum kami temui,” tambah Nathaniel.
Pada 7 Desember 2023, Prof. Mokoginta bersama kuasa hukumnya mendatangi Komisi III DPR RI dan DPP Partai Gerindra untuk meminta bantuan dalam mempercepat penyelesaian kasus ini.
Meskipun upaya tersebut sempat memberi harapan, kenyataannya, hingga kini, masalah tersebut tetap tidak menemui titik terang.
“Kami sudah tidak bisa menemukan lagi keadilan. Kami mohon kebijaksanaan dari pihak terkait,” ujar Franziska Ratu Runturambi, advokat yang turut mewakili Prof. Mokoginta.
Surat terbuka yang ditulis oleh Prof. Mokoginta bukan hanya sekadar ungkapan kekecewaan pribadi, tetapi lebih dari itu, surat ini menyoroti kegagalan sistem hukum Indonesia dalam melindungi hak-hak warga negara, terutama mereka yang berada dalam posisi rentan.
“Saya sudah capek tujuh tahun mengemis keadilan hanya untuk mempertahankan hak kami,” ungkapnya, menunjukkan betapa beratnya perjuangan yang telah ia jalani.
Fenomena mafia tanah yang semakin merajalela di Indonesia menjadi potret buruk yang mencerminkan masalah struktural dalam sistem hukum negara.
Kasus seperti yang dialami Prof. Mokoginta bukanlah kejadian tunggal, melainkan refleksi dari kenyataan pahit yang banyak dialami oleh warga negara yang hak-haknya terabaikan.
Tanah yang seharusnya menjadi hak penuh warga negara dapat dengan mudah dikuasai secara ilegal oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, sementara sistem penegakan hukum gagal memberikan keadilan yang sejati.
Di penghujung surat terbukanya, Prof. Mokoginta mengungkapkan harapannya yang tulus kepada Presiden Prabowo Subianto.
“Saya mendoakan Bapak Prabowo panjang umur dan semoga rakyat Indonesia tidak merasakan apa yang saya alami,” ujarnya.
Surat tersebut tidak hanya mencerminkan keputusasaannya, tetapi juga menggambarkan harapan terakhirnya untuk mendapatkan keadilan yang layak di tanah air.
Kisah yang dialami Prof. Mokoginta ini lebih dari sekadar masalah pribadi.
Ini adalah cerminan dari tantangan besar yang dihadapi oleh banyak warga negara Indonesia dalam menuntut keadilan.
Masyarakat kini berharap agar Presiden Prabowo Subianto dan aparat penegak hukum dapat menanggapi masalah ini dengan serius dan mengambil langkah konkret untuk memerangi mafia tanah serta memperbaiki sistem hukum agar dapat memberikan perlindungan yang seadil-adilnya kepada seluruh warga negara, tanpa pandang bulu.
Kisah Prof. Mokoginta menggugah kesadaran kolektif masyarakat akan pentingnya keadilan yang tidak hanya ada di atas kertas, tetapi juga terwujud dalam tindakan nyata.
Dengan harapan agar negara hadir untuk melindungi hak-hak dasar warganya, ini adalah momen bagi Indonesia untuk mengevaluasi dan memperbaiki mekanisme hukum demi terciptanya keadilan yang sesungguhnya.
[**/TAK]