MANGGARAI, PRONews5.com– Kunjungan Bupati Manggarai Heribertus Nabit dan rombongan ke Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Lahendong di Tomohon, Sulawesi Utara, menuai kritik tajam.
Studi banding ini berlangsung di tengah penolakan masyarakat terhadap proyek geotermal di Poco Leok serta kebijakan efisiensi anggaran yang ditekankan Presiden Prabowo melalui Inpres Nomor 1 Tahun 2025.
Masyarakat Poco Leok, yang mayoritas bekerja sebagai petani, menolak proyek geotermal dengan alasan dapat merusak lingkungan dan ruang hidup mereka.
Namun, di tengah protes yang terus membesar, Bupati Nabit dan unsur Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) justru berangkat ke Tomohon untuk mempelajari PLTP Lahendong.
Koordinator Aliansi Pemuda Poco Leok, Kristianus Jaret, menilai keputusan ini sebagai bentuk pengabaian aspirasi rakyat.
“Ini adalah dosa ekologis! Pemerintah malah menetapkan ruang hidup kami sebagai ladang bisnis untuk PLN,” tegasnya dalam aksi unjuk rasa di Kantor Bupati Manggarai pada 3 Maret 2025 yang lalu.
Bupati Nabit berdalih bahwa kunjungan ini bertujuan mempelajari dampak sosial dan lingkungan dari proyek geotermal di Lahendong.
“Kami ingin memahami bagaimana PLTP Lahendong mengelola dampak negatif pembangunan,” ujarnya.
Namun, kunjungan ini mendapat sorotan tajam karena diduga bertentangan dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi anggaran.
Inpres tersebut secara tegas meminta kepala daerah membatasi kegiatan seremonial, studi banding, dan kajian yang tidak mendesak.
Direktur JPIC OFM Indonesia, Pater Yansianus Fridus Derong, menilai perjalanan ini sebagai bentuk pembangkangan terhadap kebijakan efisiensi anggaran.
“Kenapa harus jauh-jauh ke Tomohon? Studi banding bisa dilakukan di Mataloko, Ngada, yang lebih dekat dan memiliki proyek serupa,” katanya.
Sementara itu, Pater Simon Suban Tukan dari JPIC SVD Ruteng menilai perjalanan ini bukan sekadar studi banding, tetapi bagian dari upaya memaksakan proyek geotermal kepada masyarakat.
“PLN dan pemerintah bersikeras menjalankan proyek meskipun warga menolak. Jika dipaksakan, bukan tidak mungkin akan terjadi konflik terbuka,” ujarnya.
Sorotan lain juga muncul terhadap keikutsertaan pejabat yang sedang dalam pemeriksaan hukum, seperti Kadis Perdagangan dan Perindustrian Manggarai, Livens Turuk, yang terjerat dugaan korupsi pengadaan benih bawang merah senilai Rp1,4 miliar.
Menanggapi kritik ini, Pemkab Manggarai menegaskan bahwa studi banding tidak menggunakan dana APBD.
“Seluruh biaya perjalanan ini ditanggung oleh PLN,” kata Kadis Kominfo Manggarai, Heribertus Jelamu.
Namun, pernyataan ini justru memicu dugaan gratifikasi dan konflik kepentingan.
“PLN adalah BUMN yang terus merugi. Mengapa mereka membiayai perjalanan pejabat? Ini bisa menjadi bentuk intervensi untuk meloloskan proyek Poco Leok,” kritik Pater Simon.
Dengan berbagai kontroversi yang muncul, studi banding ini tidak hanya memicu pertanyaan soal efisiensi anggaran, tetapi juga dugaan upaya membungkam penolakan warga Poco Leok terhadap proyek geotermal.
Sumber: Ekorantt.com