Direktur JPIC OFM Indonesia, Pater Yansianus Fridus Derong, menilai perjalanan ini sebagai bentuk pembangkangan terhadap kebijakan efisiensi anggaran.

“Kenapa harus jauh-jauh ke Tomohon? Studi banding bisa dilakukan di Mataloko, Ngada, yang lebih dekat dan memiliki proyek serupa,” katanya.

Sementara itu, Pater Simon Suban Tukan dari JPIC SVD Ruteng menilai perjalanan ini bukan sekadar studi banding, tetapi bagian dari upaya memaksakan proyek geotermal kepada masyarakat.

“PLN dan pemerintah bersikeras menjalankan proyek meskipun warga menolak. Jika dipaksakan, bukan tidak mungkin akan terjadi konflik terbuka,” ujarnya.

Sorotan lain juga muncul terhadap keikutsertaan pejabat yang sedang dalam pemeriksaan hukum, seperti Kadis Perdagangan dan Perindustrian Manggarai, Livens Turuk, yang terjerat dugaan korupsi pengadaan benih bawang merah senilai Rp1,4 miliar.

Menanggapi kritik ini, Pemkab Manggarai menegaskan bahwa studi banding tidak menggunakan dana APBD.

“Seluruh biaya perjalanan ini ditanggung oleh PLN,” kata Kadis Kominfo Manggarai, Heribertus Jelamu.

Namun, pernyataan ini justru memicu dugaan gratifikasi dan konflik kepentingan.

“PLN adalah BUMN yang terus merugi. Mengapa mereka membiayai perjalanan pejabat? Ini bisa menjadi bentuk intervensi untuk meloloskan proyek Poco Leok,” kritik Pater Simon.

Dengan berbagai kontroversi yang muncul, studi banding ini tidak hanya memicu pertanyaan soal efisiensi anggaran, tetapi juga dugaan upaya membungkam penolakan warga Poco Leok terhadap proyek geotermal.

Sumber: Ekorantt.com