MINAHASA, PRONews5.com – Proyek pemasangan tiang telekomunikasi milik PT Sinarmas dan PT MyRepublic di Tondano Utara kini disorot tajam. Aktivitas yang dilakukan tanpa izin, tanpa sosialisasi, dan tanpa persetujuan warga ini disebut-sebut melanggar hukum dan memicu dugaan adanya pembiaran atau “restu diam-diam” dari pejabat daerah.
Sorotan itu datang dari DPK LAKRI Minahasa, lembaga antikorupsi yang langsung mengirimkan surat resmi bernomor 014/PL/DP/DPK-Lakri/VI/2025 kepada Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Minahasa. Intinya jelas: batalkan proyek ilegal tersebut, segera!
“Ini bentuk kesewenang-wenangan terhadap masyarakat. Tidak ada izin, tidak ada pemberitahuan, dan dilakukan di ruang publik seperti bahu jalan, saluran air, dan jalur hijau. Sangat membahayakan,” tegas Ketua DPK LAKRI Minahasa, Jamel Omega Lahengko, dalam pernyataannya.
Fakta di lapangan menunjukkan tiang-tiang telekomunikasi menjamur di pemukiman warga Kelurahan Rinegetan, Kurambey, Wawalintoan, dan Tuutu – tanpa proses perizinan sebagaimana diamanatkan undang-undang.
Padahal, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi sangat jelas: setiap penyelenggara wajib mengantongi izin. Bahkan, Pasal 17 menyebutkan bahwa pemasangan jaringan harus seizin warga dan RT/RW setempat. Bila tidak, warga berhak menuntut ganti rugi (Pasal 15 ayat 2).
“Fakta di lapangan justru sebaliknya. Warga baru tahu setelah tiang berdiri. Ini proyek siluman. Kami curiga ada aparat yang bermain mata,” ujar seorang warga Rinegetan yang meminta identitasnya dirahasiakan karena takut intimidasi.
Yang lebih mengejutkan, hingga surat dari LAKRI dilayangkan pada Juni 2025, Diskominfo Minahasa belum memberikan respons. Kepala Dinas Kominfo bahkan belum berhasil ditemui saat dikonfirmasi PRONews5.com.
Diamnya pemerintah daerah justru memunculkan pertanyaan besar: Apakah ada beking politik atau kongkalikong bisnis dalam proyek ini?
“Kalau tidak ada izin, tidak ada dokumen, lantas siapa yang kasih lampu hijau? Jangan-jangan ini permainan antara oknum birokrat dan perusahaan,” kata Jamel Lahengko, dengan nada geram.
LAKRI juga menyebut proyek ini melanggar aturan lingkungan hidup, termasuk UU Nomor 32 Tahun 2009, serta UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020, yang mewajibkan partisipasi masyarakat dalam setiap kegiatan pembangunan di ruang publik.
Fenomena proyek tiang internet yang dipaksakan ini bukan hal baru. Di sejumlah kota lain, banyak penyedia jasa telekomunikasi diduga bermain “lobby” untuk membypass izin warga dan aturan tata ruang.
“Kita tidak ingin Minahasa jadi ladang uji coba bisnis yang menginjak hak rakyat. Jangan ulangi kesalahan kota-kota besar yang semrawut karena tiang-tiang tak berizin,” ujar sejumlah warga lainnya.
Data dari situs properti nasional 99.co menyebutkan bahwa tiang fiber optik yang sah harus memenuhi kriteria: tinggi 7–11 meter, jarak antar tiang maksimal 50 meter, dan wajib disetujui oleh pemilik lahan.
Tanpa itu, pemasangan adalah ilegal dan bisa dikenakan sanksi pidana dan perdata.
DPK LAKRI menegaskan tuntutannya: hentikan proyek, verifikasi ulang seluruh izin, audit kontrak PT Sinarmas dan MyRepublic, dan libatkan masyarakat dalam setiap rencana infrastruktur publik.
Jika tidak, mereka mengancam akan melaporkan hal ini ke Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Ombudsman Republik Indonesia.
“Ini bukan hanya soal tiang. Ini soal keadilan, partisipasi warga, dan supremasi hukum,” tutup Jamel Lahengko.
[**/ARP]