MANADO, PRONews5.com– Voucke Lontaan, mantan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sulawesi Utara (Sulut), kembali menuai sorotan usai mempertanyakan kehadiran pejabat Pemprov Sulut dalam Rakerda PWI versi Kongres Luar Biasa (KLB), padahal ia sudah resmi diberhentikan melalui SK PWI Pusat.
PWI Sulut menanggapi keras pernyataan Voucke dengan menyebut manuver tersebut hanya mempermalukan dirinya sendiri.

Voucke Lontaan bersama mantan Sekretaris Merson Simbolon diberhentikan dari PWI Sulut berdasarkan Surat Keputusan Nomor 134-PGS/A/PP-PWI/II/2025 yang ditandatangani Ketua Umum PWI Pusat, Zulmansyah Sekedang.
Namun, Voucke tetap aktif menggugat legitimasi pengurus baru dan mempertanyakan kehadiran Asisten I Sekprov Sulut, Denny Mangala, dalam pembukaan Rakerda PWI Sulut.

Tudingan Voucke langsung dibalas oleh Ketua PWI Sulut, Vanny Loupatty alias Maemossa, yang menegaskan bahwa undangan kepada pejabat tersebut sah dan sesuai prosedur.
“Voucke sudah tak punya legitimasi. Dia sudah dipecat. Kalau kami menggelar Rakerda dan mengundang pejabat resmi, di mana letak salahnya?” ujar Maemossa di Manado, Jumat (2/5/2025).
Maemossa bahkan menyindir bahwa pihak Voucke selama ini justru kerap mencatut nama Pemprov Sulut demi membangun kesan dukungan semu.
Ia menyebut upaya menggiring opini publik lewat media hanyalah bentuk kegelisahan pihak yang sudah kehilangan legalitas organisasi.

Menurutnya, aksi-aksi Voucke dan kelompoknya adalah upaya menggiring opini publik yang tidak berdasar.
Konflik ini berakar dari dualisme dalam tubuh PWI setelah munculnya KLB untuk merespons dugaan penyimpangan pengelolaan dana oleh Ketua PWI versi lama, Hendry Ch. Bangun.
SK AHU yang sempat diklaim sah oleh kubu Hendry kini diblokir Kemenkumham atas permintaan Dewan Kehormatan PWI.
Permintaan pemblokiran diajukan oleh Dewan Kehormatan PWI Pusat, berdasarkan surat resmi mereka Nomor 52/DK/PWI-P/VII/2024 tertanggal 16 Juli 2024.
Pemblokiran dilakukan oleh Ditjen AHU Kemenkumham, sebagaimana tertulis dalam surat jawaban Nomor AHU 7-AH 012057 tertanggal 16 Agustus 2024 yang ditandatangani oleh Direktur Badan Usaha, R.A.W. Santun M. Siregar.

Surat Administrasi Hukum Umum (AHU) Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) diblokir untuk mencegah penyalahgunaan dan memastikan PWI berjalan sesuai dengan AD/ART dan prinsip tata kelola yang baik.
Langkah ini diambil untuk melindungi nama baik organisasi dan memastikan segala aktivitas resmi hanya dilakukan oleh pengurus yang sah.
Meski tidak dirinci secara eksplisit dalam surat Ditjen AHU, fakta bahwa Dewan Kehormatan PWI yang meminta pemblokiran menunjukkan bahwa terdapat dugaan pelanggaran atau penyimpangan internal dalam kepengurusan atau penggunaan akses legal badan hukum PWI.
Bahkan, dugaan penyelewengan dana senilai Rp2,9 miliar menjadi dasar pemecatan sejumlah pengurus lama.
Maemossa turut menyoroti tindakan Hendry yang masih menggunakan alamat lama PWI di Gedung Dewan Pers untuk surat-menyurat, padahal telah dinyatakan tak lagi memiliki hak atas kantor tersebut.

Ia menyebut surat Hendry ke Gubernur Sulut sebagai bentuk “komunikasi memalukan”.
“Lucu. Sudah dipecat dan diusir dari kantor, kok masih pakai alamat itu? Ini memalukan,” sindir Maemossa.

Posisi hukum kubu KLB juga diperkuat oleh eksepsi yang diajukan LBH Pers untuk Dewan Pers di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 19 Maret 2025, yang menyatakan bahwa Hendry Ch. Bangun tidak lagi memiliki legal standing untuk menggugat.
Maemossa menegaskan bahwa tak ada ruang bagi manuver individu yang sudah dicopot secara resmi.
Ia meminta semua pihak, termasuk pejabat pemerintah dan media, agar tidak terkecoh oleh aksi-aksi pencitraan yang justru bertolak belakang dengan semangat integritas.
“Jangan bawa-bawa nama Gubernur Sulut atau UU Pers seenaknya. Kalau merasa dirugikan, tempuh jalur hukum, bukan main media. Ini bukan soal kebebasan pers, ini soal kredibilitas organisasi,” pungkas Maemossa tegas.
[**/ARP]