MANADO, PRONews5.com– Voucke Lontaan, mantan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sulawesi Utara (Sulut), kembali menuai sorotan usai mempertanyakan kehadiran pejabat Pemprov Sulut dalam Rakerda PWI versi Kongres Luar Biasa (KLB), padahal ia sudah resmi diberhentikan melalui SK PWI Pusat.

PWI Sulut menanggapi keras pernyataan Voucke dengan menyebut manuver tersebut hanya mempermalukan dirinya sendiri.

Pelaksana Tugas (Plt) Ketua PWI Sulut, Vanny Loupatty, menunjukkan Surat Keputusan PWI Pusat Nomor 134-PGS/A/PP-PWI/II/2025 yang menetapkan pemecatan Voucke Lontaan sebagai Ketua dan Merson Simbolon sebagai Sekretaris PWI Sulut. Ia menegaskan bahwa tidak ada dualisme kepemimpinan di tubuh organisasi pers tertua di Indonesia tersebut.

Voucke Lontaan bersama mantan Sekretaris Merson Simbolon diberhentikan dari PWI Sulut berdasarkan Surat Keputusan Nomor 134-PGS/A/PP-PWI/II/2025 yang ditandatangani Ketua Umum PWI Pusat, Zulmansyah Sekedang.

Namun, Voucke tetap aktif menggugat legitimasi pengurus baru dan mempertanyakan kehadiran Asisten I Sekprov Sulut, Denny Mangala, dalam pembukaan Rakerda PWI Sulut.

Rapat Kerja Daerah (Rakerda) perdana PWI Sulut bersama pengurus PWI kabupaten/kota se-Sulawesi Utara, yang digelar di Kantor Bank SulutGo, Manado, Rabu (30/04/2025). Rakerda ini dibuka oleh Gubernur Sulut, Mayjen TNI (Purn) Yulius Selvanus, S.E., melalui Asisten I Setdaprov Sulut, Dr. Denny Mangala, dan turut dihadiri Kadis Kominfo Sulut, Evans Steven Liow.

Tudingan Voucke langsung dibalas oleh Ketua PWI Sulut, Vanny Loupatty alias Maemossa, yang menegaskan bahwa undangan kepada pejabat tersebut sah dan sesuai prosedur.

“Voucke sudah tak punya legitimasi. Dia sudah dipecat. Kalau kami menggelar Rakerda dan mengundang pejabat resmi, di mana letak salahnya?” ujar Maemossa di Manado, Jumat (2/5/2025).

Maemossa bahkan menyindir bahwa pihak Voucke selama ini justru kerap mencatut nama Pemprov Sulut demi membangun kesan dukungan semu.

Ia menyebut upaya menggiring opini publik lewat media hanyalah bentuk kegelisahan pihak yang sudah kehilangan legalitas organisasi.

Dalam pemberitaan Komentar terbitan 5 Maret 2025, nama Pemprov Sulut dicatut seolah-olah memberikan dukungan kepada Voucke Lontaan, yang telah resmi diberhentikan dari jabatan Ketua PWI Sulut.

Menurutnya, aksi-aksi Voucke dan kelompoknya adalah upaya menggiring opini publik yang tidak berdasar.

Konflik ini berakar dari dualisme dalam tubuh PWI setelah munculnya KLB untuk merespons dugaan penyimpangan pengelolaan dana oleh Ketua PWI versi lama, Hendry Ch. Bangun.

SK AHU yang sempat diklaim sah oleh kubu Hendry kini diblokir Kemenkumham atas permintaan Dewan Kehormatan PWI.

Permintaan pemblokiran diajukan oleh Dewan Kehormatan PWI Pusat, berdasarkan surat resmi mereka Nomor 52/DK/PWI-P/VII/2024 tertanggal 16 Juli 2024.

Pemblokiran dilakukan oleh Ditjen AHU Kemenkumham, sebagaimana tertulis dalam surat jawaban Nomor AHU 7-AH 012057 tertanggal 16 Agustus 2024 yang ditandatangani oleh Direktur Badan Usaha, R.A.W. Santun M. Siregar.

Surat resmi Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) Kementerian Hukum dan HAM RI tertanggal 16 Agustus 2024, yang menyatakan bahwa akses Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH) atas nama Perkumpulan Persatuan Wartawan Indonesia telah diblokir, sesuai permohonan Dewan Kehormatan PWI. Surat ini ditandatangani Direktur Badan Usaha, RAW Santun M. Siregar.

Surat Administrasi Hukum Umum (AHU) Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) diblokir untuk mencegah penyalahgunaan dan memastikan PWI berjalan sesuai dengan AD/ART dan prinsip tata kelola yang baik. 

Langkah ini diambil untuk melindungi nama baik organisasi dan memastikan segala aktivitas resmi hanya dilakukan oleh pengurus yang sah. 

Meski tidak dirinci secara eksplisit dalam surat Ditjen AHU, fakta bahwa Dewan Kehormatan PWI yang meminta pemblokiran menunjukkan bahwa terdapat dugaan pelanggaran atau penyimpangan internal dalam kepengurusan atau penggunaan akses legal badan hukum PWI.

Bahkan, dugaan penyelewengan dana senilai Rp2,9 miliar menjadi dasar pemecatan sejumlah pengurus lama.

Maemossa turut menyoroti tindakan Hendry yang masih menggunakan alamat lama PWI di Gedung Dewan Pers untuk surat-menyurat, padahal telah dinyatakan tak lagi memiliki hak atas kantor tersebut.

Cuplikan surat Hendry Ch. Bangun kepada Gubernur Sulawesi Utara yang masih mencantumkan alamat lama PWI di Gedung Dewan Pers, Lantai IV, Jalan Kebon Sirih No. 34, Jakarta Pusat. Padahal, Hendry Ch. Bangun sudah tidak lagi berkantor di lokasi tersebut sejak dikeluarkan dari gedung Dewan Pers.

Ia menyebut surat Hendry ke Gubernur Sulut sebagai bentuk “komunikasi memalukan”.

“Lucu. Sudah dipecat dan diusir dari kantor, kok masih pakai alamat itu? Ini memalukan,” sindir Maemossa.

Dewan Pers telah resmi menutup akses kantor PWI bagi Hendry CH Bangun di Gedung Dewan Pers, Lantai IV, Jalan Kebon Sirih No. 34, Jakarta Pusat. sehingga penggunaan alamat itu dianggap keliru dan menyesatkan.

Posisi hukum kubu KLB juga diperkuat oleh eksepsi yang diajukan LBH Pers untuk Dewan Pers di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 19 Maret 2025, yang menyatakan bahwa Hendry Ch. Bangun tidak lagi memiliki legal standing untuk menggugat.

Maemossa menegaskan bahwa tak ada ruang bagi manuver individu yang sudah dicopot secara resmi.

Ia meminta semua pihak, termasuk pejabat pemerintah dan media, agar tidak terkecoh oleh aksi-aksi pencitraan yang justru bertolak belakang dengan semangat integritas.

“Jangan bawa-bawa nama Gubernur Sulut atau UU Pers seenaknya. Kalau merasa dirugikan, tempuh jalur hukum, bukan main media. Ini bukan soal kebebasan pers, ini soal kredibilitas organisasi,” pungkas Maemossa tegas.

[**/ARP]