BITUNG, PRONews5.com – Bitung
Di balik kemegahan proyek-proyek pembangunan Pemerintah Kota Bitung, tersimpan satu cerita suram yang kini terkuak lewat temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI.
Tahun 2024, Pemkot membayar lahan dan bangunan di Kelurahan Sagerat, Kecamatan Matuari, senilai Rp2 miliar.
Namun di balik transaksi ini, terbongkar fakta mengejutkan: tanah yang dibayar ternyata belum sepenuhnya milik sah penjualnya.
Sertifikat asli tanah tersebut, sebagaimana ditelusuri BPK, masih menjadi jaminan utang di sebuah bank swasta.
Lebih fatal lagi, pembayaran dilakukan tanpa appraisal atau penilaian independen. Artinya, nilai jual objek tidak diuji kewajarannya—sebuah pelanggaran terang-terangan terhadap aturan pengadaan aset daerah.
Transaksi pengadaan lahan itu menyimpan pola yang kerap ditemui dalam skema korupsi aset daerah: dokumen tidak lengkap, prosedur dilewati, tanggung jawab diserahkan begitu saja.
Pejabat Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) menjadi sosok kunci. Mereka meneken transaksi, meski dokumen sertifikat asli tak pernah hadir di meja.
“Pembayaran tanpa appraisal dan tanpa penguasaan hukum sah atas aset adalah bentuk kelalaian serius.
Ini bukan sekadar pelanggaran administratif—ini pintu masuk ke tindak pidana korupsi,” tegas Berty Alan Lumempouw, S.H., pengamat hukum dan kebijakan publik kepada PRONews5.com, Senin (28/7/2025).
Dalam analisanya, Lumempouw menyebut pelanggaran ini memenuhi unsur Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.