Ia juga mendorong Inspektorat Provinsi Sulut dan BPKP untuk melakukan audit investigatif terhadap seluruh pengadaan aset Pemkot Bitung dalam tiga tahun terakhir.
Dalam pandangannya, skandal ini bisa menjadi pintu masuk membongkar praktik mafia anggaran yang bermain lewat proyek pengadaan tanah dan aset lainnya.
Sorotan pun diarahkan kepada Wali Kota Bitung Hengky Honandar, S.E., yang baru menjabat sejak Februari 2025.
Meski tidak berada di kursi wali kota saat transaksi itu dilakukan, Hengky tetap dianggap bertanggung jawab secara moral dan administratif.
Lumempouw bahkan menantang sang wali kota untuk menunjukkan ketegasan dengan memerintahkan investigasi internal dan menghentikan seluruh pejabat yang terlibat selama proses hukum berjalan.
“Kalau ini dibiarkan tanpa tindakan tegas dari Wali Kota, publik akan menilai pemimpin baru hanya mewarisi dan melindungi sistem lama yang korup,” sindir Lumempouw dengan nada serius.
Ia menilai kasus ini menunjukkan betapa lemahnya sistem pengawasan internal dan mekanisme verifikasi aset di lingkungan Pemkot Bitung.
Menurutnya, modus semacam ini bukan hal baru. Transaksi dilakukan tanpa appraisal yang sah, dan kepemilikan tanah tidak jelas karena masih tersangkut dengan bank.
Yang lebih ironis, kata dia, pembayaran tetap dilakukan meski seharusnya dokumen tanah belum bisa dialihkan kepada negara.
“Kalau sertifikat masih di bank, tanah itu belum bisa dijual. Tapi transaksi tetap jalan. Itu berarti ada yang memfasilitasi—dengan sadar,” ucapnya tajam.