Bahkan Kejati Sulut secara tertulis merekomendasikan perusahaan membayar tanah Herman karena telah dijadikan lokasi tambang.

Kasus ini bermula pada September 2020 ketika perusahaan membeli dua bidang tanah Herman (SHM 137 dan 138).

Dua sertifikat lainnya (SHM 135 dan 136) masih menjadi agunan di bank.

Setelah dilunasi, BPN melakukan pengembalian batas tanpa masalah.

Lahan SHM 135 dan 136 milik Herman Loloh yang berbeda lokasi dari SHM Devie Ondang di Bitung.

Namun saat akan bertransaksi, perusahaan berdalih tanah itu telah dibayar kepada pihak lain.

Perusahaan lalu menawarkan kompensasi Rp1,7 miliar untuk kerusakan lahan dan tanaman, dengan syarat sertifikat diserahkan.

Tawaran itu ditolak karena keluarga mencium jebakan, apalagi seorang karyawan perusahaan membocorkan adanya skenario pengalihan kepemilikan.

Meski bukti menguatkan, Polres Bitung menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) atas laporan penyerobotan tanah yang dilayangkan sejak 20 Mei 2023.

Polisi malah mengarahkan keluarga menggugat perdata Devie Ondang.

Di Mabes Polri, pasal laporan diubah menjadi penggelapan asal-usul, tanpa menyentuh dugaan penyerobotan oleh PT MSM/PT TTN yang menguasai lahan.

Indikasi persekongkolan semakin kentara. Camat Ranowulu selaku PPAT membuat akta jual beli tanpa melibatkan BPN.

Lurah mengubah luas tanah menjadi 9,9 hektare untuk menghindari prosedur Kanwil BPN Provinsi.

Perusahaan memindahkan letak SHM 157 di atas SHM 135 dan 136 untuk memberi kesan tumpang tindih.

Fakta sebaliknya terungkap dalam tiga kali pengukuran ulang BPN pada 2024–2025, gelar perkara di Polda Sulut, dan rapat dengar pendapat di DPRD Bitung: tanah Herman dan Devie Ondang berada di lokasi berbeda.

“Kami melihat ada perintangan penyidikan selama dua tahun.

Polisi seolah takut memproses perkara ini sampai pengadilan, karena jika dibuka, jaringan mafia tanah yang melibatkan BPN, camat, lurah, dan perusahaan akan terbongkar,” kata Robby.

Keluarga Herman Loloh kini menunggu langkah tegas Kejaksaan Agung yang sudah memberi surat tugas kepada Kejati Sulut untuk menindaklanjuti pembayaran tanah. “Proses pidana tidak boleh berhenti. Kami akan melawan sampai keadilan ditegakkan,” tegas Robby Supit.

[**/ARP]