Hanny menjelaskan bahwa tindakan menolak Rupiah melanggar Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, yang menyatakan setiap orang wajib menerima Rupiah sebagai alat pembayaran di wilayah NKRI, kecuali jika terdapat keraguan atas keasliannya.

“Pelaku yang menolak Rupiah dapat dikenakan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda maksimal Rp200 juta sebagaimana diatur dalam ayat (3),” ujarnya.

Menurut Hanny, penolakan uang logam bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan bentuk penolakan terhadap otoritas negara dalam sistem keuangan nasional.

“Rupiah adalah simbol kedaulatan. Tidak peduli nilainya besar atau kecil, logam atau kertas — semua wajib diterima,” tegasnya.

Ia menambahkan, pengelola jasa parkir komersial yang menolak Rupiah dapat dikategorikan melanggar undang-undang jika terbukti dilakukan dengan sengaja.

“Kasus ini bisa menjadi preseden penting bagi edukasi publik dan penegakan hukum di sektor jasa parkir swasta,” tambahnya.

Bank Indonesia juga telah berulang kali menegaskan bahwa masyarakat tidak boleh menolak Rupiah dalam bentuk apa pun selama uang tersebut asli dan masih berlaku.

Penolakan terhadap Rupiah dianggap mencederai nilai simbolik mata uang nasional serta dapat menggerus kepercayaan publik terhadap instrumen pembayaran resmi.

Hingga berita ini diturunkan, pihak pengelola parkir Mantos belum memberikan klarifikasi resmi.

Beberapa pengunjung mengaku kejadian serupa pernah terjadi, terutama saat pengguna membayar dengan uang logam dalam jumlah besar.

Warga mendesak agar pengelola segera menyampaikan permintaan maaf terbuka dan memastikan kejadian tersebut tidak terulang di kemudian hari. (ARP)

Sebagai media independen, PRONews5.com berkomitmen menyajikan berita akurat dari lapangan. Jika di kemudian hari ditemukan kekeliruan penulisan atau data, redaksi akan melakukan revisi dan klarifikasi sesuai kaidah jurnalisme yang bertanggung jawab.