Hasto membantah semua tuduhan. “Saya hanya korban komunikasi anak buah,” katanya seusai sidang. Ia menyebut seluruh dana berasal dari Harun Masiku dan menegaskan dirinya tidak pernah berniat menyuap penyelenggara pemilu.

Tapi publik tahu, kasus ini tak berhenti di vonis. Karena kunci utama—Harun Masiku—masih hilang, entah disembunyikan atau sengaja dibekukan dalam diam oleh sistem.

Sejak Januari 2020, Harun Masiku dinyatakan buron. Berbagai operasi pencarian diluncurkan. Sinyal ponsel ditelusuri. Jejak ke luar negeri dikejar. Namun hasilnya nihil. Bahkan, publik mulai meragukan keseriusan KPK dalam mengejar Harun.

Di tengah itu, pertanyaan klasik mengemuka: siapa yang dilindungi, siapa yang dikorbankan?

KPK memang masih menyimpan surat perintah penyidikan aktif. Tapi hampir lima tahun tanpa hasil membuat upaya itu terkesan stagnan. Banyak yang yakin, Harun tidak mungkin hilang begitu saja tanpa ada kekuatan besar di baliknya.

Skandal ini bukan sekadar suap. Ini soal bagaimana elite partai, penyelenggara pemilu, dan uang bisa menyatu dalam satu panggung manipulasi politik.

Vonis Hasto hanyalah lembaran terbaru dari novel panjang yang belum tamat. Pertanyaannya bukan lagi sekadar siapa bersalah. Tapi: siapa akan diselamatkan? Dan siapa akan dikorbankan?

Bagi PDIP, ini tamparan di tahun politik menjelang Pilkada dan Pemilu 2029. Dan bagi publik, ini pengingat betapa mudahnya keadilan dipelintir dalam percakapan ruang tertutup dan rapat rahasia.

Hasto boleh saja menjalani 3,5 tahun di balik jeruji. Tapi Harun Masiku—saksi bisu, aktor utama, atau mungkin korban politik yang lebih besar—masih bebas. Masih hilang. Dan masih menyimpan kunci semua misteri.

[**/VIC]