Ia menambahkan, informasi bahwa nama-nama lama seperti Jun dan Elo kembali beroperasi di wilayah Alason dengan alat berat baru, semakin memperkuat dugaan bahwa ada pihak-pihak tertentu yang melindungi operasi ilegal ini.
“Pertanyaannya: siapa yang melindungi mereka? Dan mengapa institusi hukum tidak bersuara?” tegas Lumempouw.
Menurutnya, PETI bukan hanya soal pelanggaran lingkungan atau ekonomi ilegal.
Ini menyangkut jaringan kekuasaan yang sudah menyusup ke dalam sistem hukum, hingga mampu mengaburkan alat bukti dan menekan proses hukum secara sistematis.
Tambang ilegal di wilayah Minahasa Tenggara telah merusak lingkungan secara masif, mencemari Daerah Aliran Sungai, mematikan sumber air, dan menghancurkan tanah ulayat.
Namun, kerusakan terbesar justru terjadi pada kepercayaan publik terhadap institusi hukum.
Hingga Rabu malam, 9 Juli 2025, Polda Sulut belum mengeluarkan pernyataan resmi. Dirreskrimsus Kombes Pol FX Winardi Prabowo juga belum merespons konfirmasi PRONews5.com terkait kronologi dugaan hilangnya excavator dan siapa yang bertanggung jawab.
Desakan agar Kapolri dan Kabareskrim turun tangan langsung semakin menguat.
Audit atas penanganan kasus PETI di Sulut, serta keterlibatan lembaga independen seperti KPK dan Komnas HAM, mulai disuarakan oleh sejumlah aktivis dan tokoh masyarakat.
[**/ARP]