BITUNG, PRONews5.com — Aksi tak biasa terjadi di depan Polres Bitung, Selasa (12/8/2025). Hanya berdua, Neltje Loloh dan Robby Supit berdiri tegak menantang Presiden Prabowo Subianto, menuntut keadilan atas dugaan perampasan tanah keluarga mereka seluas 18 hektar oleh PT Meares Soputan Mining (PT MSM) dan PT Tambang Tondano Nusajaya (PT TTN).
“Kalau koruptor bisa bebas, kenapa korban perampasan tanah dibiarkan? Bahkan sertifikat kami mau disita,” tegas Robby Supit saat orasi.
Tanah keluarga Loloh Wantah tercatat resmi sejak 1982 atas nama Herman Loloh. Namun, pada 1988 muncul sertifikat baru atas nama remaja 13 tahun—tanpa wali—dengan luas dan batas berbeda, yang kemudian dijual ke perusahaan tambang.
Hasil ukur ulang Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sulut pada 2024 mengonfirmasi adanya tumpang tindih lahan.
Meski bukti menguat, BPN memilih menyerahkan penyelesaian lewat musyawarah, bukan pembatalan sertifikat bermasalah.
Sebelum aksi di Polres, Senin (11/8/2025), keduanya juga melakukan protes di depan Kantor Gubernur Sulut. Tanpa massa besar, mereka membentangkan baliho bertuliskan:
“Pak Presiden, kami tidak meminta amnesti dan abolisi karena kami bukan penjahat dan koruptor!!! Kami hanya minta kepastian hukum, tanah kami ‘dirampas’ PT MSM/PT TTN, 2 tahun tidak ada kepastian hukum di Polres Bitung.”
Aksi itu disiarkan langsung di akun Facebook Neltje Loloh. Tak satu pun pejabat keluar menerima aspirasi. “Hanya seekor kucing yang lewat di depan pintu,” sindir Robby.
Dalam orasi, Robby menyinggung kebijakan Presiden yang membebaskan seorang terpidana dan menghentikan proses hukum dugaan korupsi Rp630 miliar.
“Kalau presiden bisa memberi karpet merah kepada terpidana dan terduga korupsi, kenapa rakyat kecil yang jadi korban mafia tanah malah dibiarkan?” katanya.
Konflik bermula 2020 saat PT MSM/PT TTN menguasai lahan keluarga. Perusahaan menawarkan kompensasi kerusakan tanah dan tanaman, tetapi mensyaratkan penyerahan sertifikat asli—syarat yang ditolak. Salah satu perwakilan perusahaan bahkan disebut mengancam akan menggunakan uang kompensasi “untuk melawan di proses hukum.”
Kasus serupa juga menimpa warga lain, Noch Sambouw, yang pada 20 Mei 2023 melaporkan dugaan penyerobotan lahan di Pinasungkulan, Kecamatan Ranowulu, ke Polres Bitung. Laporan teregistrasi dalam dua STTLP bernomor LP/B/392/V/2023 dan LP/B/393/V/2023.

Noch menuding perusahaan melakukan penyerobotan sejak Agustus 2022, mengubah batas tanah, dan memalsukan dokumen sertifikat. Ia menjerat perusahaan dengan Pasal 372, 385, dan 406 KUHP.
Hingga berita ini tayang, Polres Bitung belum memberikan keterangan resmi terkait perkembangan penyelidikan.
Warga menilai kasus ini mencerminkan lemahnya perlindungan negara terhadap rakyat kecil di hadapan korporasi besar.
“Sudah dua tahun kami menunggu, tapi tidak ada kepastian hukum,” pungkas Robby.
[**/ARP]