Sementara itu, sertifikat elektronik yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) diklaim lebih aman dibandingkan sertifikat fisik karena dilengkapi tanda tangan elektronik yang tersertifikasi oleh Badan Siber dan Sandi Negara serta tersimpan dalam pangkalan data pertanahan nasional yang tidak bisa hilang atau rusak.

Sertifikat ini hanya dapat dibatalkan melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Sebaliknya, laporan polisi hanya merupakan alat pelaporan dugaan tindak pidana, bukan bukti kepemilikan tanah.

Jika laporan tersebut tidak didukung oleh bukti yang kuat, penyelidikan bisa dihentikan.

Dalam perkembangan terbaru, Lurah Matani 2, Audy Marthen Posumah, SE, saat dikonfirmasi pada Senin (24/3/2025), menegaskan bahwa berdasarkan sertifikat elektronik yang terdaftar di BPN, tanah tersebut memang milik Yoanna Bangun.

“Lokasi tanah yang dipermasalahkan memang sesuai dengan sertifikat elektronik atas nama Yoanna Bangun. Namun, saat ini kasusnya masih dalam proses hukum di Polda Sulut, karena dilaporkan oleh Ibu Inrita Susyane Waleleng alias Nining,” ungkap Audy.

Kasus ini kini menjadi perhatian luas di Kota Tomohon.

Masyarakat berharap ada penyelesaian hukum yang transparan dan adil, agar tidak merugikan pihak yang benar-benar memiliki hak atas tanah tersebut.

Hingga berita ini diterbitkan, belum ada pernyataan resmi dari Polda Sulut maupun Badan Pertanahan Nasional (BPN) terkait perkembangan penyelidikan.

Yang jelas, masyarakat menunggu kepastian hukum yang jelas, agar sengketa ini tidak berkepanjangan dan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pemilik tanah yang sah.

[**/ARP]