TONDANO|ProNews.id- Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 9 Tahun 2022 tentang Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu mengakui eksistensi masyarakat adat sebagai elemen penting dalam penyelenggaraan pemilu.

“Karenanya masyarakat adat di Sulut diminta untuk tetap berperan aktif dalam setiap tahapan pemilu dengan berbagai bentuk partisipasi,” tegas Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Sulawesi Utara, Meidy Tinangon, ketika menjadi nara sumber diskusi bertajuk “Masyarakat Adat Kawal Pemilu” yang digelar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Pengurus Wilayah Sulut, Rabu (09/08) di Benteng Moraya Tondano, Minahasa.

Melalui diskusi yang digelar dalam rangka Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS), ia mengatakan, PKPU Parmas menyebut partisipasi merupakan hak masyarakat.

“Termasuk masyarakat adat,” sambungnya, seperti dilansir dari situs http://sulut.kpu.go.id.

Tinangon juga memberi apresiasi kepada PW AMAN Sulut, atas consern-nya dalam penyelenggaraan pemilu, khususnya dengan digelarnya diskusi pendidikan politik kepemiluan.

“AMAN dalam pemilu tahun 2019 adalah pemantau pemilu terakreditasi di Bawaslu. Pada pilkada 2020 merupakan mitra KPU Sulut yang banyak berperan dalam program pendidikan pemilih (voters education), dan saat ini beberapa kader AMAN juga adalah penyelenggara pemilu,” ungkap mantan penasehat AMAN Sulut.

Terkait kedaulatan politik masyarakat adat di Sulut, dia menyinggung soal jejak historis kultural dalam peradaban masyarakat Minahasa khususnya. “Maka Sulut, khususnya Minahasa merupakan pionir demokrasi Indonesia,” tukasnya.

Demokrasi, menurut pendiri dan mantan Ketua Generasi Muda Minahasa (GMM) ini, telah berakar dalam kultur masyarakat Minahasa jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945.

Hal tersebut, lanjut dia, dapat dilihat dari sistem masyarakat Minahasa tempo dulu yang tidak mengenal sistem kerajaan tetapi lebih mengutamakan musyawarah.

“Masyarakat Minahasa mulai dari ‘awu’ (keluarga), taranak, roong atau wanua hingga pakasaan lebih mengedepankan permusyawaratan dalam hikmat dan kebijaksanaan yang merupakan salah satu inti demokrasi,” tuturnya.

Lebih lanjut, Komisioner KPU Sulut ini menyebutkan, terkait Dewan Wali Pakasaan yang merupakan struktur kultural pengambilan keputusan oleh para perwakilan masyarakat di masing-masing wilayah (pakasaan).

Dari sisi demokrasi elektoral, dia mengatakan bahwa sebelum Indonesia merdeka, Minahasa telah mempraktekan pemilu melalui pemilihan ukung (hukum tua/kepala desa).

Juga, sambungnya, ada pemilu lokal sebelum 1945 untuk memilih anggota Minahasa Raad (Dewan Minahasa) yang merupakan lembaga legislatif di tanah adat Minahasa saat itu.

“Karena pengalaman historis kuktural tersebut, maka pasca proklamasi kemerdekaan, pemerintah Indonesia melakukan semacam ‘uji coba’ pemilu di 2 tempat yaitu Yogyakarta dan Minahasa pad atahun1951, sebelum pemilu nasional pertama pada tahun 1955,” ungkap mantan Ketua KPU Minahasa tersebut.

Dengan jejak historis kultural tersebut, lanjut dia, maka masyarakat adat ataupun ormas adat di Minahasa, harus mempertahankan predikat sebagai pionir demokrasi Indonesia dengan terus konsisten berpartisipasi mengawal pemilu yang LUBER dan Jurdil.

“Masyarakat adat, jangan golput!,” ungkap Tinangon dalam closing statementnya.

[*/Rev]