MANADO, PRONews5.com – Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), tertulis di Pasal 27 Ayat 1 bahwa:
“Setiap orang berhak untuk turut serta dalam kehidupan kebudayaan masyarakat dengan bebas, menikmati kesenian, dan turut mengecap kemajuan dan manfaat ilmu pengetahuan.”
Tapi rupanya, hak itu berhenti di atas kertas. Ketika sampai di tanah Minahasa, dia tersandung di meja birokrasi dan tenggelam di gelas kebijakan yang sudah lama kosong dari rasa keadilan.
Captikus, sang warisan lokal yang lahir dari tangan-tangan tani, kini justru diperlakukan seperti kriminal kelas kakap. Seolah-olah, tiap tetesnya mengandung makar. Padahal, yang membuat gaduh bukan Captikus, tapi sistem yang lebih mabuk dari rakyatnya: mabuk kuasa, mabuk uang, dan mabuk pura-pura peduli.
Di tengah semangat “Menjaga Adat dan Budaya”, pemerintah malah sibuk mengasah stigma. Mereka jeli—bukan dalam melihat potensi lokal—tetapi dalam mencari kambing hitam. Ironisnya, ketika Captikus dituding sebagai biang kerok kerusuhan, justru obat-obatan terlarang dan senjata tajam beredar bebas bak diskon akhir tahun, dan kita bertanya-tanya: siapa yang benar-benar sedang mabuk di sini?
Yang lebih menyedihkan, para wakil rakyat kita di DPRD Provinsi Sulawesi Utara, yang katanya berasal dari rahim rakyat, entah sedang tidur di kursi empuk atau terlalu sibuk menghitung proyek, hingga lupa bahwa Minahasa Pride bukan hanya soal tari-tarian di festival, tapi juga hak untuk menjaga dan menikmati warisan leluhur—termasuk Captikus.
Tapi tentu saja, dalam logika kapitalisme dan oligarki, budaya hanya layak dilestarikan kalau bisa dijual mahal di meja-meja investor, Kalau tidak, ya dibungkam saja—atau dituduh sebagai penyebab kerusuhan. Sementara potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari kearifan lokal ini hanya jadi wacana musiman, seperti janji kampanye yang hanya indah sampai bilik suara ditutup,
Padahal Captikus label 1978 yg di Jual sama sekali Bukan dari tangan Petani Namun selalu Di Izinkan, namun Ranperda Legalitas Captikus yg menguntungkan Petani Tak pernah di Sahkan
Jadi, pertanyaannya:
Apakah hak berbudaya dan kebanggaan atas identitas Minahasa benar-benar dijaga, atau hanya dirayakan ketika kamera menyala dan undangan datang dari kementerian?
Jika jawabannya masih kabur, maka kita tahu siapa yang benar-benar mabuk di negeri ini.
Hasta la victoria siempre !
~Ujar Endosoren
[**/IND]