Dalam persidangan, Karopenmas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko menegaskan bahwa Cosmas telah terbukti tidak profesional dalam mengendalikan anggotanya.
Kelalaiannya dinilai fatal karena berdampak pada hilangnya nyawa. “Wujud perbuatan terduga pelanggar telah bertindak tidak profesional dalam penanganan aksi unjuk rasa, sehingga mengakibatkan adanya korban jiwa,” ucap Trunoyudo.
Putusan akhirnya jatuh: PTDH untuk Cosmas, sementara Bripka Rohmat sebagai sopir rantis menunggu proses pidana. Lima anggota lain yang duduk di kursi belakang hanya dijerat pelanggaran sedang.
Seiring keluarnya vonis, ruang publik justru terbelah. Sebagian besar warganet mendukung langkah tegas Polri demi menjaga marwah institusi.
Namun tidak sedikit pula yang pasang badan membela Cosmas. Media sosial dipenuhi komentar bernada simpati.
Banyak yang menilai Cosmas hanya menjalankan tugas dan dikorbankan demi meredam kemarahan publik. “Dia cuma jalankan perintah atasan, kok jadi korban sendiri?” tulis seorang pengguna platform X.
Sementara akun lain menuding keputusan itu politis, semata-mata untuk mencari aman di hadapan publik yang sedang marah.
Namun di sisi lain, suara publik yang menuntut profesionalisme Polri juga lantang terdengar. “Ada nyawa melayang, tidak boleh ada toleransi,” ujar akun lain yang mengingatkan bahwa aparat harus bertanggung jawab penuh ketika terjadi pelanggaran prosedur.
Perdebatan inilah yang membuat kasus Cosmas menjadi sorotan besar, bukan sekadar perkara internal Brimob, melainkan potret tarik-menarik antara keadilan, empati, dan citra institusi.