Bahkan, jika tidak ingin disebut sebagai upaya melucuti wewenang kepolisian dan kehakiman,” kata Haidar Alwi.
Kejaksaan tidak hanya dapat menyelidiki dan menyidik sendiri suatu kasus, tetapi juga memiliki hak mengintervensi penyidikan yang dilakukan kepolisian.
Dengan kata lain, jaksa bebas menentukan kapan suatu perkara naik ke penyidikan, dilanjutkan, atau dihentikan, tanpa perlu mekanisme pengawasan yang ketat.
“Hal ini sangat rawan disalahgunakan karena mengabaikan prinsip checks and balances.
Jaksa bisa saja berada di bawah tekanan politik, kepentingan pribadi, atau bahkan terjerumus dalam praktik korupsi.
Ini jelas bahaya bagi penegakan hukum kita,” lanjut Haidar Alwi.
Haidar Alwi juga menyoroti bahwa kejaksaan selama ini telah menyaingi KPK dalam penanganan perkara korupsi.
Mulai dari penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan, kewenangan kejaksaan dalam kasus korupsi tampak lebih dominan daripada fungsinya sebagai penuntut umum.
Secara normatif-yuridis, kejaksaan sebenarnya tidak memiliki kewenangan untuk menyidik tindak pidana korupsi (tipikor), kecuali sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).
Namun, dalam praktiknya, jaksa sering kali bertindak seolah-olah memiliki kewenangan penyidikan yang setara dengan KPK atau kepolisian.
“Jika jaksa memang bertindak sebagai PPNS, seharusnya mereka tetap berada dalam pengawasan dan koordinasi penyidik kepolisian.
Namun faktanya, apakah selama ini kejaksaan benar-benar berkoordinasi dengan Polri sebagai Korwas PPNS dalam penyidikan perkara?” tanya Haidar Alwi.