JAKARTA, PRONews5.com — Mantan Kepala Badan Sarana Pertahanan (Kapusaran) Kementerian Pertahanan, Laksamana Muda (Purn) Leonardi menegaskan dirinya hanya menjalankan perintah atasan dalam proyek pengadaan user terminal satelit slot orbit 123 derajat Bujur Timur.
Pernyataan tersebut ia sampaikan saat dirinya resmi dilimpahkan dari Kejaksaan Agung ke Oditurat Militer Tinggi II Jakarta pada Senin (1/12/2025).
Leonardi menyebut proyek ini merupakan perintah langsung dari atasan yang disebut telah melakukan rapat terbatas bersama Presiden RI. Ia juga menegaskan tidak pernah menerima keuntungan pribadi dari proyek tersebut.
“Yang pertama, saya melaksanakan perintah atasan. Yang kedua, saya tidak menerima sepersen pun duit. Saya tidak melakukan korupsi,” ujarnya.
Pada hari yang sama, Kejaksaan Agung melimpahkan berkas tiga tersangka kasus dugaan korupsi proyek satelit 123° BT Kemenhan.
Selain Leonardi selaku pejabat pembuat komitmen, turut dilimpahkan Anthony Thomas Van Der Hayden (ATVDH), warga negara Amerika Serikat yang berperan sebagai perantara, serta Gabor Kuti, CEO Navayo International AG.
Dua nama pertama hadir dalam pelimpahan tahap dua, sementara Gabor Kuti masih berstatus buron dan telah masuk daftar Red Notice Interpol.
Direktur Penindakan Jampidmil, Brigjen TNI Andi Suci, mengatakan bahwa pelimpahan berkas Gabor dilakukan secara in absentia mengingat yang bersangkutan belum berhasil ditangkap.
Dalam pelimpahan tersebut, penyidik juga menyerahkan berbagai barang bukti yang dinilai penting dalam mengungkap struktur kasus.
Barang bukti itu antara lain dokumen-dokumen pengadaan, 550 telepon genggam yang dikirim Navayo International AG, serta komponen server pack delivery yang sampai hari ini belum dirakit.
Temuan dari pemeriksaan ahli satelit menunjukkan bahwa perangkat yang dikirim tidak memenuhi standar user terminal.
Tidak ditemukan secure chip pada ratusan ponsel tersebut, perangkat tidak pernah diuji terhadap Satelit Artemis yang berada di slot orbit 123° BT, bahkan sebagian besar barang tidak pernah dibuka atau diperiksa sejak tiba di Indonesia.
Kasus ini bermula dari kontrak bernilai USD 34,19 juta yang ditandatangani pada 2016 antara Kementerian Pertahanan melalui Leonardi dan pihak Navayo International AG.
Nilai kontrak tersebut kemudian diubah menjadi USD 29,9 juta tanpa melalui mekanisme pengadaan barang dan jasa yang sesuai ketentuan.
Penyidik menemukan bahwa sertifikat kinerja atau Certificate of Performance (CoP) ditandatangani tanpa verifikasi fisik terhadap barang, karena dokumen itu disiapkan oleh ATVDH.
Atas dasar CoP tersebut, Navayo kemudian mengajukan empat invoice pembayaran ke Kemenhan. Namun pada 2019, diketahui tidak ada anggaran untuk pengadaan satelit.
Kondisi itu memperburuk keadaan setelah arbitrase internasional di Singapura memerintahkan Indonesia untuk membayar USD 20,86 juta kepada Navayo, termasuk ancaman penyitaan aset diplomatik RI di Paris.
Direktur Penuntutan Jampidmil, Zet Tadung Allo, menjelaskan bahwa perkara ini dilimpahkan ke Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta meski terdapat tersangka berstatus warga sipil.
Alasannya, perbuatan tersebut dilakukan bersama-sama dengan seorang perwira tinggi TNI, yakni Leonardi.
Dengan demikian, seluruh kewenangan proses hukum kini beralih kepada penuntut koneksitas yang terdiri dari jaksa Jampidmil dan oditur militer.
Ketiga tersangka dijerat dengan pasal berlapis, mulai dari Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kemudian subsider Pasal 3, hingga lebih subsider Pasal 8 UU Tipikor, disertai Pasal 55 dan 64 KUHP.
Proses hukum kini menunggu pelimpahan resmi ke Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta untuk segera disidangkan.
Kasus ini menjadi salah satu perkara pengadaan satelit paling kompleks dalam satu dekade terakhir karena menyangkut prosedur pengadaan, hubungan internasional, serta potensi kerugian negara yang sangat besar.
[**/IND]

