Menurutnya, proyek ini melanggar sejumlah regulasi penting, termasuk UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, yang mengharuskan adanya persetujuan dari masyarakat dan lingkungan sekitar.
Selain itu, proyek ini juga diduga menabrak UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang mewajibkan keterlibatan publik dalam pembangunan infrastruktur.
Lebih ironis lagi, surat resmi LAKRI sejak Juni 2025 hingga kini tidak mendapat respons dari Pemerintah Kabupaten Minahasa. Kepala Dinas Kominfo pun belum berhasil ditemui hingga berita ini diterbitkan.
“Kalau tidak ada izin, tidak ada dokumen, siapa yang kasih lampu hijau? Jangan-jangan ini permainan antara oknum birokrat dan korporasi,” tandas Lahengko.
LAKRI menuntut penghentian total proyek, audit menyeluruh terhadap kontrak dan aktivitas PT Sinarmas serta MyRepublic di Minahasa, dan jaminan hak partisipatif warga.
Jika tidak, LAKRI akan membawa kasus ini ke Kementerian Kominfo, Ombudsman RI, hingga aparat penegak hukum nasional.
“Ini bukan sekadar soal tiang. Ini soal keadilan, keterbukaan, dan tegaknya hukum di Minahasa,” tegas Lahengko.
Investigasi PRONews5.com mengungkap, proyek pemasangan tiang internet oleh perusahaan yang sama sebelumnya telah berlangsung di Kota Manado.
Proyek tersebut juga menuai protes warga karena minim sosialisasi dan transparansi.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, setelah Minahasa, proyek ini akan dilanjutkan ke Kota Tomohon, dengan skema dan pola pelaksanaan yang sama.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran publik bahwa proyek serupa akan terus berulang di daerah lain dengan cara-cara melanggar hukum, jika tidak segera dihentikan dan diaudit menyeluruh oleh lembaga independen serta aparat penegak hukum.
[**/ARP]