Beberapa pejabat eselon II dan III menerima TPP dengan nominal tinggi. Data yang dikonfirmasi PRONews5.com menunjukkan rincian sebagai berikut:
- Kepala Bagian Administrasi Pembangunan: Rp210,6 juta per tahun
- Kepala Bagian Pengadaan Barang dan Jasa: Rp224,7 juta per tahun
- Kepala Bagian Umum: Rp224,7 juta per tahun
- Kepala Bagian Persidangan DPRD: Rp126,4 juta per tahun
- Sekretaris Daerah (Sekda) Minahasa: lebih dari Rp68 juta per bulan atau sekitar Rp958 juta per tahun
- Kepala Dinas: Rp42 juta per bulan atau sekitar Rp420 juta per tahun
- Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat: Rp33,5 juta per bulan atau sekitar Rp469 juta per tahun
- Asisten Pembangunan dan Perekonomian: Rp33,5 juta per bulan atau sekitar Rp469 juta per tahun
- Asisten Administrasi Umum: Rp33,5 juta per bulan atau sekitar Rp469 juta per tahun
- Inspektorat: Rp34 juta per bulan atau sekitar Rp476 juta per tahun
Besaran tersebut menunjukkan disparitas mencolok antarposisi jabatan dan dinilai tidak transparan karena tidak melalui mekanisme pengawasan DPRD.
Ironisnya, lembaga yang seharusnya menjadi garda depan pengawasan internal justru ikut menikmati TPP tinggi.
Berdasarkan data yang diperoleh, sejumlah pejabat di Inspektorat Kabupaten Minahasa juga menerima TPP dengan nilai besar, bahkan mendekati pejabat eselon II lainnya.
Kondisi ini membuat Inspektorat dinilai gagal menjalankan fungsi pemeriksaan dan pengawasan, bahkan dianggap ikut tutup mata terhadap pelanggaran, karena di dalam lembaga tersebut sendiri para pejabatnya menerima TPP besar yang menggiurkan.
“Bagaimana mungkin Inspektorat bisa objektif melakukan pemeriksaan, kalau justru di dalamnya ikut menikmati TPP besar tanpa dasar hukum yang jelas,” kata aktivis anti-korupsi Eddy Rompas dari Lembaga Investigasi Negara (LIN) Sulawesi Utara).
Rompas menilai lemahnya sikap Inspektorat Minahasa memperlihatkan konflik kepentingan internal, karena institusi pengawas daerah justru ikut diuntungkan dari kebijakan yang diduga melanggar aturan.
Rompas menegaskan, TPP hanya sah bila ditetapkan melalui Peraturan Kepala Daerah (Perkada) yang telah dibahas dan disetujui DPRD dalam proses APBD.
“Kalau TPP dibayar tanpa dasar anggaran yang sah, itu sudah termasuk belanja tidak sah dan bisa dikategorikan penyalahgunaan wewenang,” tegas Rompas, Sabtu (8/11/2025).
Ia menambahkan, kepala daerah dan pejabat terkait bisa dijatuhi sanksi administratif oleh Kemendagri atau Gubernur, mulai dari teguran tertulis, penundaan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Insentif Daerah (DID), hingga pembatalan Perkada.
“Kalau terbukti ada kerugian negara, unsur pidana Pasal 2 dan 3 UU Tipikor dapat diterapkan,” ujarnya.
Diamnya DPRD Minahasa menjadi catatan tersendiri. Berdasarkan Pasal 149 ayat (1) huruf b dan c UU Nomor 23 Tahun 2014, DPRD memiliki fungsi pengawasan dan penganggaran terhadap kebijakan daerah.
“Kalau DPRD diam, berarti mereka lalai menjalankan fungsi konstitusionalnya,” kritik Rompas.
Sementara itu, salah satu ketua fraksi DPRD Minahasa mengaku belum mengetahui adanya pembayaran TPP tanpa persetujuan dewan.
“Saya juga baru tahu kalau tunjangan Sekda luar biasa besar. Tapi soal persetujuan, saya belum dapat informasinya,” ujarnya singkat.
Beberapa anggota DPRD lainnya membenarkan bahwa selama tiga tahun terakhir TPP tidak pernah dibahas dalam rapat badan anggaran maupun paripurna.
“Memang tidak pernah dibahas. Jangan-jangan Bupati dan Wakil Bupati juga belum tahu nilai TPP Sekda sebesar itu,” ungkap salah satu legislator yang enggan disebutkan namanya.

