MANADO, PRONews5.com – Sulawesi Utara kembali dibanjiri batu hitam ilegal asal Gorontalo. Mineral berwarna pekat yang mengandung emas, perak, dan timbal itu diselundupkan lewat jalur darat menggunakan truk ekspedisi.
Nilai transaksinya di pasar gelap diperkirakan menembus miliaran rupiah setiap kali pengiriman.
Sejumlah sumber menyebutkan, truk-truk ekspedisi yang membawa batu hitam kerap melintas di perbatasan Sulut–Gorontalo.
Untuk menghindari pantauan aparat penegak hukum dan masyarakat, truk-truk itu tidak berjalan beriringan, melainkan melintas satu per satu.
“Batu hitam Gorontalo sudah masuk Sulut. Tangkap mereka, proses hukum, jangan ada pembiaran,” ujar salah satu sumber terpercaya, Senin (8/9/2025).
Batu hitam tersebut ditambang dari kawasan rakyat di Suwawa Timur, Kabupaten Bone Bolango.
Setelah digiling, materialnya dicampur dengan merkuri atau sianida sebelum diproses menjadi emas maupun perak.
Menurut seorang akademisi pertambangan dari Universitas Sam Ratulangi Manado, batu hitam ini bukan mineral biasa karena mengandung galena (PbS) yang berasosiasi dengan emas dan perak.
“Penambangan liar dan penyelundupan sering terjadi, dan inilah yang membuat masalah semakin kompleks,” ujarnya.
Dari sisi keuntungan, nilai jual batu hitam di pasar gelap mencapai Rp20–30 juta per ton. Dengan kapasitas muatan 10–15 ton per truk, satu kali pengiriman bisa bernilai Rp200–450 juta.
Jika tiga truk saja berhasil diamankan, potensi kerugian negara dari transaksi ilegal tersebut bisa menembus Rp6–13,5 miliar.
Jika praktik ini berlangsung berulang kali, potensi kerugian dari royalti dan pajak pertambangan mencapai ratusan miliar rupiah per tahun.
Dari aspek hukum, praktik penyelundupan batu hitam ilegal melanggar berbagai aturan. Undang-Undang Minerba Nomor 3 Tahun 2020 Pasal 158 menegaskan penambangan tanpa izin dapat dipidana lima tahun penjara dan denda hingga Rp100 miliar.
Pasal 161 memperluas sanksi bagi pihak yang mengangkut, mengolah, atau menjual hasil tambang tanpa izin. Sementara itu, Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) Nomor 32 Tahun 2009 Pasal 98 mengatur sanksi pidana tiga hingga sepuluh tahun serta denda Rp3–10 miliar bagi pelaku pencemaran lingkungan.
Bahkan, dari aspek pidana umum, Pasal 480 KUHP memungkinkan aparat menjerat pembeli atau penadah batu hitam ilegal dengan ancaman empat tahun penjara.
Aktivis lingkungan turut memberi peringatan serius terkait bahaya penggunaan merkuri dan sianida dalam pengolahan batu hitam.
Kedua zat beracun itu berpotensi mencemari sungai, merusak laut, dan mengancam kesehatan masyarakat hingga puluhan tahun ke depan.
“Sekali tercemar, sulit dipulihkan. Sungai bisa mati, ekosistem laut hancur, dan penyakit akibat logam berat bisa muncul di generasi berikutnya,” kata salah seorang aktivis.
Kasus penyelundupan batu hitam ilegal yang terus masuk ke Sulut menegaskan lemahnya pengawasan di jalur lintas perbatasan.
Aparat penegak hukum didesak segera bertindak tegas, tidak hanya menyasar sopir truk di lapangan, tetapi juga membongkar jaringan mafia tambang yang mengendalikan bisnis gelap bernilai miliaran rupiah ini.
[**/ARP]